Selama puluhan tahun lalu, Aceh bukanlah
daerah yang menarik untuk diberitakan dibandingkan dengan Medan, Ujungpandang
atau daerah lainnya di nusantara. Namun setelah kejatuhan Soeharto bersama orde
baru-nya, gambaran seperti ini lambat laun berubah. Aceh, yang selama orde baru
digambarkan sebagai daerah yang cantik, tenang dan aman, ternyata daerah yang
penuh gejolak yang mempunyai segudang masalah warisan masa lalu yang belum
terselesaikan. Beberapa peristiwa berdarah, ribuan pengungsi, pembakaran
sekolah, penembakan misterius dan ketakutan-ketakutan masyarakat, hampir jadi
menu utama orang-orang di sana.
Tatkala gejala-gejala sosial ini muncul ke
permukaan, maka pers nasional mulai membidik Aceh secara intens. Hal ini
terbukti dengan ditempatkannya beberapa koresponden/jurnalis tetap beberapa
media nasional di Aceh. (Pantau, Edisi 06 Oktober – November 1999, hal. 3).
Peran media pada dekade ini membantu
mengungkapkan beberapa peristiwa berdarah di Aceh. Disamping mampu meng-cover
beberapa peristiwa insidentil yang terjadi secara terus menerus. Para
jurnalis juga mencoba membentuk siklus informasi yang berimbang dengan
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak non-militer. Karena pada jenjang ini
militer hampir menjadi ujung tombak sumber informasi. Bahkan secara spesifik,
wartawan nasional juga mengadakan penjajakan informasi ke kalangan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), yang saat itu telah menjadi sebuah kekuatan bersenjata yang
tidak bisa lepas pengaruhnya dari etensitas konflik di Aceh. Keterangan dari
pihak GAM tidak hanya dianggap sebagai informasi pembanding dari segmen-segmen
pejabat militer. Tapi juga bisa menjadi sharing yang mampu menunjukkan
akuratif suatu peristiwa dengan menunjukkan fakta-fakta yang mereka miliki.
Tentang isu penembakan terhadap Alm. Tgk.
Abdullah Syafiey, yang saat itu menjabat sebagai Panglima GAM misalnya, ketika
itu rumor yang berkembang adalah Abdullah Syafiey telah ditembak oleh pasukan
militer, mengalami luka kritis dengan resiko yang diasumsikan akan meninggal
dalam beberapa saat. Namun beberapa hari kemudian, Panglima GAM tersebut
ditampilkan oleh media sebagai sosok yang selamat dari ‘amukan’ militer. “I’m
Fine”, katanya melalui tulisan yang dipajang di sampingnya, yang difoto
oleh wartawan dari dalam dan luar negeri. Foto inipun menjadi cover beberapa
media. Dan tampilnya foto ini mementahkan pernyataan-pernyataan petinggi
militer yang menggambarkan tentang kematian Panglima GAM ini.
Beberapa hal fenomenal bisa saja terjadi dalam
peliputan oleh media di Aceh. Karena perang propaganda antara dua pihak,
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan GAM berdengung seiring dentuman-dentuman
senjata api di Aceh. Masyarakat sipil
non-kombatan terposisikan tidak hanya sebagai penonton. Bahkan
ironisnya, merekalah yang kerap menjadi korban tindak kekerasan. Mereka
terjepit di antara dua kekuatan yang telah menjadi besar di sana.
Kekuatan-kekuatan yang menafikan hukum bagi
kepentingannya. Secara perlahan hukum pun semakin terpinggirkan seirama memudar
dan melemahnya hukum itu sendiri menjerat pelaku-pelaku pelanggaran. Konon lagi
aparat penegak hukum sendiri menjadi pemicu atau pemrakarsa pengabaian hukum
dalam sistem operasi. Hal ini bisa dibuktikan dengan dilibatkannya aparat
kepolisian dalam operasi perang yang dilengkapi dengan senjata perang yang
bukan standar polisi. Maka yang terjadi dan berlaku adalah hukum perang. Dan
hukum perang sebagaimana sering diucapkan oleh aparat keamanan kepada
masyarakat Aceh saat itu adalah: “TNI tidak punya penjara, dan penjara kami
hanya ada di bawah tanah (mati=kubur)”.
Mungkin agak berbeda dengan argumentasi yang
dikemukakan oleh GAM, yang bisa jadi dengan sengaja mementahkan produk hukum
pemerintah dengan maksud ‘peng-akuan’ terhadap produk hukum mereka sendiri,
yang konon sempat diterapkan di beberapa tempat dan peristiwa di lingkungan
‘basis terpelihara’ mereka.
Ketidak-pastian hukum inilah yang membelenggu
kebebasan sipil di Aceh. Dan masyarakat pada umumnya lebih memilih diam untuk
membuka mulut jika menyangkut nama dan keberadaan dua pihak yang
dipermasalahkan.
Hal ini tentu pula menjadi kendala tersendiri
bagi pers di Aceh. Prinsip responsible press menuntut mereka untuk
memberikan informasi yang faktual dan balance. Tanpa suara masyarakat
yang secara nyata telah merasakan getir-getir konflik bersenjata, maka
informasi yang disajikan belum bisa dikatakan lengkap dan komprehensif.
Sekalipun pemuatan sumber informasi dua arah telah dirangkum, maka belum tepat
jika dikatakan informasi yang disampaikan akuratif. Toh masing-masing mereka
punya kepentingan.
Berbeda dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Masyarakat Aceh mempunyai pandangan tersendiri terhadap LSM, apalagi
yang bergerak di bidang kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka cenderung
terbuka dan mau berbagi informasi tentang beberapa peristiwa misalnya.
Pengalaman penulis, saat masih tergabung
dalam Mekanisme Damai Melalui Dialog (DMD) Aceh (2002 – 2003) yang difasilitasi
oleh Henry Dunant Center (HDC). HDC adalah lembaga kemanusiaan internasional
yang menjadi fasilitator perundingan antara Pemerintah RI dan GAM.
Bersama dengan Tim Monitoring Masalah Keamanan (TMMK) yang merupakan bagian
dari DMD Aceh, melakukan kunjungan ke Sawang, Aceh Utara. TMMK yang terdiri
dari tokoh-tokoh Aceh menjumpai masyarakat setempat dan mewawancarai mereka.
Yang terjadi adalah, satu persatu masyarakat datang untuk mengadukan nasib
mereka yang selama ini mereka pendam.
Menurut masyarakat di sana, satu minggu
menjelang kunjungan TMMK, mereka telah mendapatkan penganiayaan fisik oleh
aparat keamanan. Masing-masing bercerita atas perlakuan yang dialamatkan kepada
mereka, mulai dari penganiayaan ringan, berat, penggeladahan rumah-rumah,
sampai ditemukannya beberapa mayat di perkebunan sekitar desa mereka.
Sungguh
suatu perlakuan yang sangat kasar dan tidak manusiawi. Namun naifnya bagi
seorang pemuda diantara mereka yang bercerita hari itu. Dia memang lebih banyak
bercerita. Akibatnya, seminggu sekembalinya TMMK dari sana, surat kabar
memberitakan tentang kematiannya akibat terkena tembakan. Potret seperti ini
tentunya menjadi shock therapy bagi masyarakat lainnya. Peluru yang
hinggap di tubuhnya seakan melirik “siapa berani bicara”?
Oleh karena itu rechecking media
terhadap korban, mengalami masa-masa sulit. Karena yang namanya media,
keterangan hasil wawancara yang disampaikan akan dimuat dan tertampang di muka
publik. Faktor ini pula yang cenderung tanpa sadar menggiring media untuk
mengutip keterangan-keterangan resmi yang mengalami ‘pengolahan kata’ dan didasari
pembelaan-pembelaan terhadap institusi atau organisasi.
Sehingga yang terbaca
di media adalah tuduhan, klaim, kemudian klarisifikasi yang lebih bersifat
“eksepsi”, kemudian klarisifikasi agi dan klaim kembali, begitu seterusnya.
Berita yang disampaikan mungkin both side, tapi tidak semuanya hasil
liputan media, melainkan ke-manja-an media yang terbiasa menerima pernyataan
melalui rilis yang di-fax ke meja redaksi, kemudian mengkonfirmasi kepada pihak
yang satunya. Yang paling menarik adalah, duel informasi ini digambarkan oleh
media dengan mendramatisir permasalahan sehingga nampak menarik. Sementara
masyarakat tidak mendapatkan apa-pa dari apa yang ia baca atau lihat melalui
media.
Pada ujung-ujungnya, masyarakat sipil korban
konflik tenggelam dalam berbagai kenistaan dan penderitaan. Yang muncul adalah
kepentingan-kepentingan. Padahal, seharusnya pers sebagai pengontrol sosial
yang terdiri dari orang-orang sipil menjadi perantara lidah masyarakat dengan
membentuk opini-opini non-provokatif dan menekan pelaku-pelaku kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Satu hal yang menarik adalah, ketika GAM menyadari peran media yang mampu mengubah
opini. Dalam pemahaman mereka ‘aksi’ akan menimbulkan reaksi-reaksi. Teapatnya;
“Ada aksi, ada Reaksi”. Maka semakin banyak reaksi, GAM pun akan terasa
‘semakin besar’. Hal ini pula, mungkin, yang melatarbelakangi kasus-kasus
penahanan/penyanderaan oleh GAM terhadap orang-orang yang dianggapnya mampu
menarik simpati. Seperti yang terjadi dalam beberapa kasus. Ada penyanderaan
Wartawan TVRI, PLN, Siswi, William Nessen, dan terakhir Kru RCTI. Paling tidak,
kasus ini telah menggoyang media nasional, bahkan internasional. Meskipun ini
bukan alasan utama mereka. Mungkin hitung-hitung, tidak ubahnya seperti gossip
artis. Makni digossipin, makin tenar namanya.
Operasi Militer yang saat ini digelar di Aceh
dalam bungkusan Operasi Terpadu, rentan memberika reputasi terpuruk bagi media.
Karena secara komprehensif, Operasi Terpadu tidak terpresentasi oleh
pemberitaan media secara seutuhnya. Bahkan media cenderung apatis dan tidak
merasa berdosa saat menyajikan informasi-informasi ordered (pesanan).
Role
of game dari Operasi Militer nyaris tidak tersentuh oleh media. Begitupun
prosedur pelaporan pelanggaran, tidak ada yang merasa tertarik. Seakan
mayat-mayat yang terus bergelimpangan di Aceh adalah hasil karya anak bangsa.
Dan sepertinya sudah seharusnya mereka menghadapi kematian dengan cara-cara
yang sadis. Transparansi keuangan selama Operasi Terpadu seakan hal yang
absolut.
Hal yang sangat urgen dan logis dilakukan
saat ini adalah memediasi konflik melalui peran aktif media untuk mengangkat
isu-isu sipil non-kombatan dengan metode fox-pop dan both side,
yang selama ini terasa agak menjauh. Media memang harus memegang peran penting,
dan pihak yang bertikai harus memberikan peluang secara ‘sportif’.
Idealnya, media alternatif yang terbebas dari segala kepentingan mesti
dimunculkan sebagai pahlawan yang mampu menyelamatkan Aceh dan masyarakatnya.
Perang adalah cara, tapi bukan solusi.
Tulisan ini dimuat di Aceh News
Watch Bulletin, ISAI, Jakarta, 2004
Komentar
Posting Komentar