Langsung ke konten utama

MEDIA DAN EVALUASI DARURAT MILITER (2003)




Darurat militer dalam kajian media selalu menarik untuk diperhatikan. Sejalan dengan paruh besar waktu diterapkannya Darurat Militer sejak 19 Mei 2003, banyak hal yang terjadi. Dalam catatan media sendiri, pun tidak kurang dari munculnya berita-berita yang terkendali, berkendali, dan kadang-kadang tak terkendali.

“Nanti dibuka saja di media massa, biar tidak ada pikiran macam-macam, berapa sih sebenarnya dana yang diterima Kodam. Jangan ada pikiran bahwa Kodam juga terlibat, karena itu mengganggu. Jadi mohon diklarifikasi”.

Pernyataan di atas disampaikan oleh Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Endang Suwarya yang juga Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh sebagai reaksi atas penyebutan instansinya menerima alokasi dana dari Pemerintah Provinsi Aceh, yang disampaikan oleh Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, dalam pertemuan dengan Tim Monitoring Darurat Militer yang berlangsung di Balai Teuku Umar, Banda Aceh.
[Media Indonesia, Kamis, 11 Maret 2004 ; 16]

Satu hal yang menarik untuk dikritisi adalah kalimat pertama dari pernyataan di atas; “Nanti dibuka saja di media massa, ...Pernyataan ini mempunyai sisi pandang yang sangat beragam. Dalam aspek profesionalisme media-pers, kalimat ini mempunyai kecenderungan pemanfaatan media oleh golongan tertentu untuk kepentingannya. Dimana media dimanfaatkan untuk menyampaikan opini atau praktik cuci tangan. 

Dalam aspek yang lain, ada kecenderungan kepercayaan diri yang besar pada penguasa darurat di Aceh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan melalui media, karena sealur dengan maklumat yang telah dikeluarkannya tentang pembatasan pemberitaan oleh media massa di Aceh, yang pada ujungnya lingkaran kebebasan wartawan yang meliput di Aceh “terkuasai”. Selanjutnya akan mempengaruhi pola pemberitaan di media massa. Semoga yang terjadi adalah, PDMD memandang transparansi dan independensi media akan mengungkapkan realitas yang sesungguhnya.

Pada prinsipnya, satu hal yang sangat positif bagi media sebagai kontrol sosial, jika mampu memberikan informasi akurat dan transparan tentang alokasi dana yang disampaikan oleh Pemerintah daerah Aceh dan PDMD, sekaligus menjadi promotor uji publik terhadap perbedaan pendapat antara kedua penguasa tersebut tentang alokasi dana yang dimaksud, dalam rangka evaluasi Darurat Militer. Tetapi akan sangat berbeda ketika berita itu muncul bukan atas dasar inisiatif jurnalisme investigasi, melainkan sifatnya disodorkan oleh sumber yang cenderung mempunyai suatu kepentingan.

Hal ini tentunya harus menjadi kewaspadaan media agar tidak terjerembab pada pertarungan  kepentingan para elite. Apalagi menjadi sebuah keterpaksaan media karena power yang lain, memuat sisi berita yang tidak akuratif. Jika demikian yang terjadi, maka media menjadi tidak terpuji dan teruji. Karena sudah di luar kode etik jurnalisme.

Bagaimanapun, evaluasi Darurat Militer adalah sesuatu yang mesti dilakukan dan menjadi acuan bagi militer sendiri, masyarakat dan pemerintah. Karena hasil dari evaluasi tersebut akan menjadi tolok ukur bagi penentuan kebijakan selanjutnya. Karena pertanyaan besarnya adalah; Sejauh manakah keberhasilan operasi militer mengeleminir Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama ini. Jika mengutip pernyataan petinggi militer bahwa kekuatan GAM sudah dapat “disterilkan”, maka kenapa Darurat Militer masih perlu dipertahankan?

Kehadiran Tim Monitoring Terpadu (TMT) yang merupakan subsistem dari keadaan bahaya Darurat Militer (DM), mulai Jumat (12/3) melakukan monitoring pelaksanaan operasi terpadu, termasuk penggunaan dana Rp 10 Trilyun lebih. Bila ada temuan penyalahgunaan dana dan proyek selama DM, sebut Ketua TMT, Mar'ie Muhammad, akan dilakukan perbaikan- perbaikan ke depan. Bahkan, bila diperlukan, TMT bisa meminta Oditur Militer untuk memeriksa kasus-kasus yang diduga menyimpang. [Serambi Indonesia, Kamis 11 Maret 2004].

Serambi Indonesia (Harian lokal di Aceh) memuat dua judul berita yang berkaitan dengan evaluasi Darurat Militer, pada hari yang sama Media Indonesia memuat satu judul berita. Sementara media lain yang dimotoring selain Media Indonesia, yaitu; Kompas, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Majalah Gatra, dan Majalah Tempo, tidak ditemui judul berita yang berkaitan dengan evaluasi Darurat Militer. Padahal ini adalah angle penting untuk konsumsi publik yang sedang bertanya-tanya.

Evaluasi Darurat Militer hampir tidak bearti apa-apa, ketika Tim monitoring tidak mempublikasikan hasil temuan mereka di Aceh. Apalagi kegiatan mereka seputar monitoring Operasi Terpadu seperti tidak terkejar oleh insan pers. Atas dasar ini, Direktur Imparsial, Munir, mempertanyakan akuntabilitas dana triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk pelaksanaan operasi militer di Aceh. Menurutnya, persetujuan alokasi dana untuk operasi militer hanya berdasarkan barter politik antara elite politik di DPR dengan TNI. 

Pada sisi lain Munir juga menambahkan, Departemen Pertahanan dan TNI menolak melaporkan secara terbuka hasil audit dana operasi militer pada publik.[Koran Tempo Selasa, 30 Maret 2004]. Berita Koran Tempo ini sekaligus menjadi berita kedua setelah berita di Media Indonesia [11/3] seperti yang diuraikan di atas. Lalu menyusul lagi Media Indonesia [11/4], tentang pernyataan Mar’ie Muhamad, sebagai Ketua Tim Monitoring Independen (TMI) Operasi Terpadu, bahwa penemuan mereka yang baru bekerja selama tiga minggu, terindikasi adanya pengendapan dana di berbagai proyek, namun Mar’ie tidak mau merincikannya. Dengan demikian, publik hanya mendapat tiga berita ‘penting’ dari  tujuh media cetak yang dimonitoring ISAI, yang memuat evaluasi Operasi Terpadu medio 11 Maret – 17 April 2004, di mana evaluasi tahap kedua dilakukan.

Harus diakui, bahwa ruang pemberitaan yang meng-cover Darurat Militer di Aceh menjadi sempit seiring munculnya isu-isu baru seputar Pemilu 2004 misalnya. Padahal banyak sisi yang masih menjadi persoalan besar di sana dan perlu ditampilkan dalam bentuk human-interest sebagai penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan di Aceh.

Pengalaman panjang masyarakat Aceh terhadap militer, menunjukan bahwa kasus Daerah Operasi Militer (DOM 1989 – 1998) telah menjadi pandangan umum dan standar represif sebuah operasi militer, yang pada ujungnya melahirkan asumsi yang tidak bagus terhadap citra militer. Hampir dapat dipastikan, sebelum Darurat Militer diterapkan, rata-rata masyarakat Aceh mempunyai kesan negatif bahkan sebagian besar cenderung anti militeristik.

Nah, pada saat Darurat Militer diterapkan, kekuasaan sipil yang semula dipegang oleh Pemerintah daerah “dikepinggirkan” oleh kewenangan yang lebih besar pada PDMD sebagai konsekuensi dari status Darurat Militer. Operasi penegakan hukum sebagai bagian dari Operasi Terpadu, secara perlahan juga telah “merontokkan gigi” pejabat legislatif dengan kasus-kasus dugaan penyelewengan dana (korupsi).

Hal yang sama saat ini terjadi dengan pejabat eksekutif yang secara perlahan dibidik dengan kasus-kasus serupa [korupsi]. Penahanan Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi NAD, TM. Lizam olehSatgas Intel PDMD, telah memperjelas kewenangan militer memasuki wilayah-wilayah hukum yudikatif yang sifatnya non militer. Mungkin ini adalah awal dari sebuah “potong kompas”  terhadap sebuah proses peradilan, yang menurut Jubir PDMD Aceh Kol Laut (E) Ditya Soedarsono akan memakan waktu yang sangat panjang. Menurut dia, PDMD memiliki kewenangan untuk penegakan hukum sesuai dengan pasal 55 bab V Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23/1959. [Media Indonesia, 16 April 2004].

Padahal sebelumnya, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum [Kapuspenkum], Kemas Yahya Rachman, menyatakan bahwa dalam hal ini PDMD telah melakukan tindakan di luar kewenangannya. “Pengadilan tidak akan terima karena penyidikan itu tidak pro-justitia”, kata Kemas. Hal ini bisa jadi sangat rumit. Seorang Ulama Aceh yang tidak mau disebut jati dirinya kepada Media mengungkapkan; “Kami merasa resah dengan campur tangan PDMD dalam kasus-kasus korupsi. Bahkan, ada ulama Aceh yang ikut ditahan dengan alasan tidak jelas. Suasana seperti ini sangat tidak enak”. [Media Indonesia, 14 April 2004].

Secara garis besar dapat diasumsikan bahwa kekuatan sipil (pemerintahan sipil) nyaris tidak lagi mampu mengontrol dan mengakomodir isu-isu dari masyarakat Aceh. Kekuatan militer telah menjelma sebagai ‘full-power’ yang mengarah kepada ‘full policymaker’. Hal ini seharusnya menjadi perhatian besar semua pihak. Karena tatkala masyarakat yang sebelumnya tidak sepenuhnya menerima militer, dihadapkan pada “tidak bergiginya” pemerintahan sipil dan besarnya kewenangan militer untuk mengambil kebijakan, maka apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan masyarakat Aceh?
                                                                                            


Tulisan ini dimuat di Aceh News Watch Bulletin, ISAI, Jakarta, 2003

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petikan Senar Jasmine (Sebuah Cerpen)

Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah   easel stand   yang menampung sebuah   lukisan realis   berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk   finishing . Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya. Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali. Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Ke...

Harmoni di Tepi Krueng Lokop dan Bakti Pak Tani untuk Negeri

  Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan  start  dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana. Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaks...

Tumpôk Asëë Lêt

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya. Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan  hana sapue na . Sebuah perumpamaan keluar dar...