Foto: Pinterest.com Bila anda duduk rapi di sebuah sudut yang tepat pada sebuah perempatan, dengan mudah dapat melihat setiap pergerakan aktifitas padat di jalanan yang hampir saja dapat anda jangkau semua sudutnya kecuali sedikit di bagian belakang anda. Kalimat di atas merupakan sebuah ungkapan yang saya coba analogikan dalam aspek yang berbeda terhadap apa yang pernah disampaikan seorang Muslahuddin Daud (selanjutnya disebut MD) kepada sejawatnya dalam diskusi kecil sambil menyeruput kopi, ketika sejawatnya meminta pendapat tentang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahwa pendidikan paska sarjana sejatinya untuk penuntut ilmu dan untuk penentuan jabatan atau kebutuhan akademik. Dalam pandangan MD orang-orang yang mempunyai kapasitas ilmu yang memadai, yaitu orang-orang yang mampu memadukan antara konteks kebutuhan sosial dan konsep pemberdayaan. Kesuksesan adalah keberhasilan bersama dimana orang lain juga dapat menerima manfaat secara nyata. Jika ingin sukses individual jadilah pengusaha, karena tidak butuh pendidikan tinggi untuk menjadi seorang pengusaha. Tentu saja, pendapat itu hanya berlaku untuk lingkup kecil sebesar lingkaran meja tempat kami berdiskusi. Karena di tempat yang lebih luas mungkin akan muncul berbagai argumentasi dari pemilik ilmu dengan berbagai pembelaan akademik dan sederetan fakta ilmiah yang tentu saja dalam bentuk konsep yang tertulis dengan ejaan yang rapi. Meskipun secara pengalaman antara MD dan sejawatnya beda jarak, namun keduanya berdiri pada sebuah pemahaman bahwa kepekaan tidak selalu membutuhkan ilmu yang tinggi, tapi kesadaran yang tinggi. Berapa banyak pemilik gelar yang berderet, tapi miskin ide ketika terjebak pada tataran aplikatif. Penelitian dan karya mereka hanya akan menjadi rujukan untuk karya berikutnya. Pengalaman adalah kata kunci dalam pembicaraan ini. Bahwa pengalaman dapat menjadi pijakan dasar untuk membangun berbagai hipotesa dalam rangka menyusun sebuah konsep yang baik dan memadai. Pengalaman sewaktu-waktu dapat saja melampaui konsep ilmu. Hanya saja ia tidak dapat diberi gelar. “Karenanya, jika ingin meraih gelar silahkan melanjutkan pendidikan. Tapi jika ingin melakukan sebuah hal yang nyata, mulai lakukan dari sekarang. Pengalamanmu setara dengan ilmu seorang doktor”, sebuah kalimat penegasan keluar dari MD. Begitulah, akhirnya diskusi itu mencair dan megikuti alur-alur cerita lain sampai bagaimana orang-orang kuat di negara maju mengontrol perekonomian (juga politik barangkali) di negara-negara berkembang. Pada dasarnya itu hanya pembicaraan biasa dan separuh kelakar khas tongkrongan warung kopi sebagai pelepas penat setelah seharian beraktifitas. Hanya saja, pembicaraan di 2013 itu nyatanya telah telah mewujud dalam aksi nyata seorang MD. Dimulai dengan pilot project yang sempat mengalami kegagalan dua kali karena pengrusakan lahan oleh ureueng ilhap, seorang MD terus memberi fokus untuk pertanian dengan konsep organik dan modern. Menjelajah lahan-lahan kecil di Jawa Barat untuk membuktikan bahwa bertani menyediakan banyak peluang. Lalu dengan membentuk sebuah tim work, MD mulai melirik pada permasalahan dasar petani tradisional. Di Aceh misalnya, dengan potensi lahan kakao seluas 105.000 ha yang tersebar di seluruh Aceh yang hanya mampu memproduksi sekira 34.000 ton pertahun dari panen seharusnya yang mencapai 400.000 ton, tentu saja ada permasalahan serius dengan cara tanam dan perawatan tanaman ini. Lalu dengan mengajak beberapa orang ahli, tim ini kemudian mulai melakukan penelitian skala kecil untuk mempelajari kondisi kebun kakao milik masyarakat dimulai dari kontur tanah, pertumbuhan batang, pemupukan, perawatan dahan hingga persoalan lingkungan serta persoalan fisiologis dan phisikologis tanaman dsb, untuk ditemukan kendala-kendala yang mengakibatkan minimnya produksifitas kakao. Secara perlahan beberapa kebun yang dijadikan sampling untuk pemulihan mulai menunjukkan hasil positif. Metode peremajaan kakao dalam jaringan tanaman organik yang diterapkan telah memberi harapan baru bagi petani kakao. Enam bulan paska rehab, kakao sampling sudah melesat produktifitasnya. Sejak pergerakan awal, keberadaan tim ini disambut positif oleh komunitas petani kakao. MD memanfaatkan jejaring terbuka dengan memanfaatkan sosial media untuk membangun komunikasi dan pengenalan awal program yang dijalankan. Tentu saja di luar kontak-kontak pribadi yang memungkinkan. Di tahun pertama saja, MD sudah berani mengklaim ratusan 3000-an (?) petani kakao telah dapat dirangkul untuk menyukseskan penghasil kakao terbaik di Aceh dan diharapkan mampu mendongkrak perekonimian masyarakat dan pendapatan daerah. Meskipun pemerintah daerah masih malu-malu memberi dukungan untuk program ini. MD dan timnya tidak berdiri di tempat menyaksikan kesuksesan ini. Beberapa program telah dirancang untuk membangun kerja sama dengan pemerintah di level kementerian agar lebih banyak kebun kakao bisa direhab dan tentu saja dalam rangka pertumbuhan ekonomi masyarakat ke arah yang gemilang. Inilah kesuksesan bersama yang dimulai dengan tekad dan niat baik. Tidak boleh tidak, pengalaman seorang MD-lah yang menjadikan semua ini mungkin. Lihat saja MD sampai turun dari Gedung BEJ dan membaktikan dirinya sebagai petani. Lalu mengapa ada yang menjadi korban? Karena ternyata pengalaman juga tidak berarti apa-apa jika tidak memulai untuk melakukan sesuatu. Karena di antara peminum kopi hari itu ada yang mencoba menelan secara utuh logika berpikir seorang MD, sementara ia tidak melakukan apa-apa. Ending dari kisah ini, seorang MD berhasil memberikan sebuah perubahan dan harapan bagi banyak orang, karena ia melakukan sesuatu. Sejawatnya tetap melanjutkan pendidikan dan menjadi pendidik di universitas. Dan yang satunya masih mendengar, melihat dan memberi testimoni.
Dapat dibaca di acehtrend
|
Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah easel stand yang menampung sebuah lukisan realis berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk finishing . Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya. Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali. Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Ke...
Komentar
Posting Komentar