Seorang perempuan paruh baya menenteng eumpang caroek, tas kecil yang terbuat dari sulaman daun ibôh berdiri persis di sebelah kanan tangga pintu depan pendopo. Ia bersahaja, menutup kepalanya dengan lilitan selendang batik yang juga membalut separuh badannya. Di belakangnya ada beberapa perempuan lain yang rata-rata sebaya dengannya. Ada sekira lima belas orang, sebagian mereka berjongkok di atas tanah, saling berbicara.
Mereka reflek bangun ketika melihat orang yang mereka tunggu muncul dari pintu utama, penuh wibawa yang membuat mereka yakin inilah pemimpin mereka yang baru. Lelaki itu melihat sekilas ke arah mereka untuk sadar situasi, lalu melanjutkan sisa pembicaraan dengan tamunya sambil melepas mereka pamit.
Perempuan pertama di dekat tangga dengan semangat menunggu pembicaraan itu selesai. Tak lama, ia memanggil Bapak kepada lelaki itu, beberapa detik usai ia melepas salaman pamit tamunya. Ia menoleh dengan ramah, menuruni anak tangga dan menghampiri perempuan-perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai para janda korban konflik.
Dengan polos, para janda itu mengaku disuruh datang ke sana untuk meminta daging meugang yang katanya disiapkan di pendopo setiap menjelang hari raya. Awalnya lelaki itu hanya tersenyum sambil memberikan penjelasan dengan hati-hati, bahwa belum pernah sekalipun pendopo menyediakan daging meugang. Beberapa perempuan di deretan belakang mulai angkat suara dan menyesalkan keadaan itu. Mereka merasa dipermainkan. Orang tertentu di kampungnya menyuruh mereka ke sana, tapi mereka menemukan kenyataan lain hari itu.
Dengan penuh bijak, lelaki itu menjelaskan kembali, tidak mungkin pendopo mampu menyediakan hal-hal seperti ini. “Jika pun ada, maka tentu bukan ibu-ibu saja yang bisa dapat, tapi seluruh masyarakat Aceh Timur, kan tidak mungkin itu,” ujarnya sambil menyarankan agar mereka kembali ke rumah dan ia akan mencari solusi yang baik dengan panglima wilayah di sana.
Menyadari kemungkinan pulang dengan tangan kosong, beberapa orang mulai mengeluarkan kata-kata yang bernada kecewa, termasuk kepada pemimpin baru yang ada di hadapan mereka. Lelaki itu mencoba menjelaskan kembali. Suasana tidak berubah. “Ureueng droeneuh ka jipeungeut le awak nyoe, awak yang peureulee beusaket ulee lon. Jika ureueng droen han neupateh lon, maka neucok parang neutak lon mantong. Karena nyan memang ata hana,” Lelaki itu putus asa dan mengeluarkan jurus terakhirnya sebagai kombatan.
Lelaki itu Rocky, nama akrab Hasballah M.Thaib, Bupati Aceh Timur yang memenangi pemilihan kepala daerah pertama kalinya di 2012. Kejadian itu di awal jabatannya. Ia menang ketika Partai Aceh mendominasi kursi pucuk pimpinan di kabupaten/kota. Tidak mudah bagi seorang mantan kombatan untuk menjalankan pemerintahan secara seimbang.
Semasa perjuangan, masyarakat simpatisan adalah keluarga, tempat bersembunyi, tempat mengisi kekosongan perut yang lapar berhari-hari, tempat meminta atau menitipkan sebuah pesanan, dll. Sementara dalam organisasi perjuangan sendiri ada garis komando yang terstruktur secara rapi dari Pusat hingga Sagoe. Rocky harus mengimbangi semua kepentingan itu di antara birokrasi yang ketat dan komitmen kepemimpinan. Tidak hanya Rocky, bupati di beberapa daerah lain juga serupa, bahkan Gubernur Aceh.
Rocky sendiri adalah nama sandi yang dilatarbelakangi kegandrungannya terhadap mobil Taft Rocky dengan mesin penggerak 4×4 yang eksis di era 1980-an, mobil dua geureudhang. Itu bisa bermakna ia mempunyai hobby offroad, atau ia mengambil falsafah dari mobil jenis jeep itu sebagai moda yang dapat berfungsi secara maksimal dan fleksibel. Dapat menggunakan kekuatan penuh saat menghadapi medan berlumpur dan bisa berjalan dengan santai di jalanan yang beraspal. Tapi nyatanya, selama ia memimpin, beberapa event road race motorsport dan mobil offroad sudah beberapa kali digelar yang melibatkannya dalam kepanitiaan, terakhir bahkan digelar di komplek kantor pemerintahan Idi sebagai upaya mempromosikan Aceh Timur dan bagian dari aktifitas positif yang mengandung nilai-nilai fairness yang dapat menginspirasi pejabat di bawahnya.
Dilahirkan 1974, lelaki ini lebih sering terlihat berpenampilan sederhana untuk sekelas pejabat. Suatu waktu saat menggelar acara maulid Nabi SAW di rumah pribadinya, beberapa tamu sibuk mencari tuan rumah, lalu mendapatinya sedang duduk di balai tamu dengan teungku-teungku, bersosialisasi penuh akrab dengan gaya berpakaian yang sama, peci hitam, kain sarung dan kemeja blumas, seakan anak pesantren yang bertemu ustaznya.
Di balik kesederhanaan itu, Rocky mempunyai sikap tegas yang dibuktikan dengan keberhasilannya memboyong semua pejabat dan pegawai untuk berkantor di Idi. Satu hal yang tidak mudah. Sebelumnya, kabupaten Aceh Timur dikendalikan dari Langsa pasca pemekaran Langsa sebagai Kota Administratif. Hal ini memberikan dampak yang sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan Idi sebagai kota kabupaten yang baru. Segala persiapan digenjot dengan melobi semua lini sampai level kementerian. Alhasil, Rocky mendapat pujian dari kabupaten lain atas keberhasilannya melanjutkan pembangunan pusat pemerintahan baru.
Satu hal yang unik, Rocky memanfaatkan pemberitaan negatif di media massa terhadap dirinya atau pemerintahannya sebagai acuan yang diramu menjadi kliping-kliping berita yang bermanfaat saat ia berbicara dengan seorang menteri. Di hadapan menteri terkait, ia dengan mudah dapat mengatakan bahwa ini kehendak rakyatnya, bukan pribadinya. Kliping itu adalah bukti.
Untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih luas, Rocky menitikberatkan sektor pertanian sebagai alternatif yang dapat dijangkau sampai ke lapisan bawah. Namun semangat itu belum mendapat reaksi secara luas di masyarakat, karena membangun mindset dibutuhkan waktu yang lebih lama dari pada meng-implementasikan sebuah program. Rocky telah menginisiasi dua pabrik produksi tepung dari bahan baku umbi-umbian dengan skala produksi 20 ton perhari. Karena umbi-umbian dengan mudah dapat tumbuh dan dikembangkan oleh masyarakat. Tapi sampai saat ini, belum ada penanaman secara massal untuk menjawab tantangan ini.
Seorang ulama kharismatik Aceh saat berkunjung ke sebuah acara di Aceh Timur menyarankan agar ulama-ulama di wilayah ini melihat Rocky. Itu sebuah sinyal yang sangat jelas ketika Rocky baru saja mematangkan keinginannya untuk melanjutkan kepemimpinannya di periode kedua. Bahkan baru-baru ini, sosok ulama ini juga setuju jika Rocky dibawa ke provinsi sebagai orang kedua, satu hal yang dianggap Rocky masih belum layak. Waktu akan menjawabnya.
Sebagai seorang manusia tentu saja tidak ada yang sempurna dari seorang Rocky. Ia bisa saja keliru dalam mengambil kebijakan. Dan sebagai public figure ia akan selalu mendapat sorotan. Selalu ada sisi positif-negatif dalam setiap kebijakan, apalagi conflict interest sangat kental di lingkaran kekuasaaan. Semoga Aceh Timu tetap Bereh!
Tulisan ini dimuat di acehtrend.com
Komentar
Posting Komentar