Langsung ke konten utama

Covid -19, dari Corona Semoga Tidak Menjadi Corporation of Vandalism

 


Hampir semua orang saat ini dihadapkan pada realitas global yang mengkhawatirkan. Jadi kita harus melucu sebisanya. Berjenaka ria di antara melakukan tindakan atau kegiatan positif di tengah badai Covid-19. Benar, ada luang di tengah ancaman dan kelonggaran-kelonggaran di ruang proteksi pencegahan.

Berangkat dari kebijakan skala nasional, kita coba melihat ke Aceh. Anak-anak yang sekolahnya terpaksa diliburkan, lalu muncul istilah belajar dari rumah yang sebelumnya belum pernah dipraktekkan bahkan tidak didiskusikan sama sekali saat kondisi normal. Tidak ada mekanisme atau juknis memadai yang mampu menjamin anak-anak tetap dalam pembelajaran ala sekolah saat belajar dari rumah. Akibatnya, dari total jam belajar di hari normal, mungkin hanya 20% yang mampu diserap anak-anak untuk belajar. Sisanya kegiatan suka-suka.
Ketika sekolah diliburkan, para guru tidak mungkin ke sekolah untuk mengajar, selain guru juga termasuk dalam objek kebijakan yang mengatur social distancing. Guru diberi tugas yang lebih mudah, memantau anak-anak didik melalui media daring yang konsepnya juga masih gamang ditambah ada guru yang masih gagap teknologi tertentu. Akibatnya, mereka hanya bisa kirim foto sedang mengajari anak-anaknya sendiri atau anak-anak lain yang didatangi untuk memenuhi standar laporan kegiatan. Selebihnya kadang-kadang pula Kepala Sekolah mengajak rapat konferensi melalui aplikasi yang bisa memunculkan video setiap orang di satu monitor. Awalnya agak gagap, setelah diajari, suka juga akhirnya.

Pun demikian orang kantoran, dibuat shift untuk kebutuhan layanan tertentu karena secara umum tidak masuk kantor terkait kebijakan work from home (bekerja dari rumah). Lalu ada yang mempertanyakan apa bedanya bekerja dari rumah dengan bekerja di rumah? Logika bahasanya, jika bekerja “dari” rumah bermakna mengerjakan sesuatu untuk kebutuhan yang sifatnya di luar rumah/orang lain (dalam hal ini kantor tempat bekerja) yang seharusnya dikerjakan di tempat kerja. Sementara bekerja “di” rumah bermakna umum sekali. Membersihkan taman di halaman rumah sejatinya sedang bekerja di rumah (untuk rumah/sendiri). Seberapa efektif bekerja dari rumah? Belum ada angka persentasenya.

WHO saja yang mungkin tidak suka-suka karena awal-awalnya menggunakan istilah social distancing, seruan pembatasan sosial untuk menjaga jarak aman dari paparan virus corona, lalu setelah dua bulan istilah itu diubah menjadi physical distancing yang mengandung makna lebih halus dan manusiawi. Menjaga orang tetap terhubung, bersosialisasi dengan protokol menjaga jarak aman.

Isu Covid-19 yang menghantam seluruh dunia telah mengubah banyak hal. Di Indonesia beberapa kebijakan keluar dengan cepat mengikuti pergerakan virus yang menyebar dengan ganas dan mengakibatkan banyak kematian. Kebijakan lahir tanpa diskusi panjang yang mengatur pembatasan-pembatasan kegiatan bahkan kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak jemaah.

Kebijakan tentang anggaran dalam rangka mendukung upaya pencegahan dan dampak yang ditimbulkan oleh menyebarnya virus corona terus disiasati oleh pemerintah. Dimulai dari pemotongan/pengalihan penggunaan dari mata anggaran tertentu sampai mengucurkan dana tambahan bagi APBN. Bermacam program disusun dan mulai direalisasikan.

Aceh sendiri meskipun belum ditetapkan sebagai zona merah, tapi kebijakan yang mengatur secara umum berlaku sama antar daerah, karena memprediksi penyebaran virus tidak sama dengan mengukur debit air di sungai untuk mewaspadai banjir yang sewaktu-waktu bisa datang akibat luapan sungai. Virus corona hanya bisa dilihat dengan alat tertentu yang belakangan baru tersedia secara terbatas.

Terkait anggaran, Pemerintah Aceh bisa dikatakan sigap membuat perencanaan setelah sebelumnya mendapat protes secara massal karena memberlakukan jam malam. Pembatasan jam malam sejatinya dapat diterima jika dikondisikan untuk wilayah tertentu yang sebaran manusianya padat di malam hari. Inti dari jam malam sendiri sebenarnya juga dalam rangka memastikan orang-orang tidak berkumpul secara ramai. Kita harus akui kota seperti Banda Aceh, Lhokseumawe dan beberapa kota lainnya di Aceh punya trend ngopi malam hari, meskipun beberapa orang minum juice. Trend ngopi ini yang sebenarnya rawan karena di satu warung saja tidak kurang dari 50 orang “ngopi” dengan durasi waktu rata-rata 2 jam. Tapi karena berlaku umum, orang kampung tentu akan protes, karena ramainya mereka tidak sama.

Dari segi jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penanganan dampak wabah covid-19, Pemerintah Aceh terlihat serius. Dana yang begitu besar. Namun kabur ketika beberapa pihak mempertanyakan bagaimana dana itu akan disalurkan meskipun sasarannya jelas, masayarakat Aceh. Ini juga terkesan suka-suka ala pemerintah, setelah sebelumnya bantuan berlambang identitas daerah dengan warna yang berubah dan menyerupai warna salah satu partai.

Sontak saja, itu bukan meme; akan lucu pada waktunya, tapi langsung lucu!
Terlalu dangkal jika itu dimaksudkan untuk pencitraan. Tapi beberapa kalangan sudah terlanjur menilai bahwa itu pencitraan. Terlalu pagi. Dan jika pun benar untuk pencitraan, itu menyakitkan setidaknya dari dua aspek: Pertama, tidak fair saja ketika dana negara dimanfaatkan secara nyata untuk kepentingan kelompok tertentu, Kedua, orang-orang yang melakukan itu menempatkan masyarakat sebagai konstituen yang tidak tahu apa-apa dan terkesan masih bangai menilai sesuatu. “Kamu ambil ini, ingat warna ini, dan kami akan datang lagi.”

Masyarakat Aceh tidak serobot itu lagi,Bos! Plus ketiga (sebagai bonus), itu pembelajaran politik yang sangat buruk.

Semoga dananya tidak akan dibagi hanya berdasarkan data BPS tahun sekian yang dipakai tahun sekarang, tapi benar-benar sampai kepada masyarakat yang terdampak secara ekonomi akibat Covid-19. Sehingga Covid-20 terminimalisir dampak rusaknya. Oh ya, Covid-20 (Corporation of Vandalism Indonesia 2020) hanya istilah suka-suka, tapi berpotensi merusak. Mari kita awasi bersama-sama.

Tulisan ini tayang di acehtrend.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petikan Senar Jasmine (Sebuah Cerpen)

Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah   easel stand   yang menampung sebuah   lukisan realis   berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk   finishing . Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya. Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali. Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Ke...

Harmoni di Tepi Krueng Lokop dan Bakti Pak Tani untuk Negeri

  Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan  start  dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana. Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaks...

Tumpôk Asëë Lêt

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya. Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan  hana sapue na . Sebuah perumpamaan keluar dar...