Pencapaian monumental antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 melalui sebuah kesepahaman yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, telah merubah wajah Aceh secara signifikan. Perang berhenti, rakyat Aceh melanjutkan mimpi-mimpi mereka yang tertunda. Perdamaian berwujud dengan aneka wajah. Reintregrasi dan pengakuan hak mantan kombatan –termasuk hak politik—menjadi hal penting selain penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
MoU menggelinding di segenap penjuru. Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh lahir pada Agustus 2006, semangat dan isu MoU Helsinki tidak pernah padam. MoU Helsinki merupakan semangat awal. Sampai-sampai UUPA cenderung menjadi pijakan kedua bagi pemangku kepentingan di Aceh, setidaknya selama satu dekade. MoU Helsinki menjadi anak emas yang mempunyai nilai legitimasi dan politis.
Pemahaman tentang MoU terpapar sebagai produk internasional dari lidah ke lidah dan tulisan ke tulisan, yang secara umum memberi posisi baik bagi MoU. Hanya beberapa yang kritis menyorot kedudukan MoU dalam konteks hukum Internasional.
Ini dapat dimaklumi, karena perdamaian adalah mutiara berharga setelah selama 30-an tahun Aceh didera konflik bersenjata. MoU mejadi hal eklusif selama beberapa tahun sampai orang-orang mulai menyadari bahwa ada banyak perjanjian bisnis antar negara atau antar perusahaan yang juga memakai istilah yang sama, MoU, dan singkatan itu semakin familiar di media massa.
Dalam banyak referensi istilah MoU dipahami sebagai dokumen kesepahaman yang melibatkan dua pihak. MoU pada dasarnya merupakan sebagai inisiasi awal menuju kontrak perjanjian yang lebih konkrit yang akan dibuat secara permanen dan mengikat. Karenanya tidak heran, sebagian klausul/point dalam MoU Helsinki di separuh bagian awal menggunakan kata “akan”. Dalam hal ini UUPA adalah kontrak konkrit sebagai turunan MoU Helsinki, meskipun MoU tidak memungkinkan masuk dalam konsideran UUPA sendiri.
Dilema muncul. Bukankah seharusnya fase MoU Helsinki telah lewat seiring keluarnya UUPA? Ini tidak dalam konteks mengabaikan MoU Helsinki, karena bagaimanapun MoU Helsinki masih menjadi magnet tersendiri bagi perdamaian Aceh. Namun memposisikan MoU Helsinki sebagai landasan secara terus menerus akan rancu dari aspek hukum, sementara implementasi UUPA sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun. UUPA pincang itu masalah yang berbeda. Tidak mungkin undang-undang negara dipaksakan tunduk pada kesepahaman yang lebih bersifat jabat tangan resmi dan gentlemen—beberapa praktisi hukum memaknai pengertian MoU seperti ini.
Dilema kedua, dari aspek para pihak yang terdiri dari Pemerintah RI di satu pihak dan GAM di pihak yang lain pada saat penandatangan MoU itu dilakukan di Helsinki. Perjanjian (antara kedua belah pihak) secara umum akan batal jika salah satu pihak menarik diri atau bubar atau berakhirnya masa perjanjian. MoU Helsinki tidak membubarkan GAM, karena jika itu dilakukan maka perjanjian akan cacat. GAM seharusnya tetap berdiri gagah, sebagai penerus cita-cita Aceh atau sebagai organisasi yang mengubah cara perjuangannya.
Tapi persoalannya ketika tokoh yang melakukan penandatangananan perjanjian dan delegasinya kemudian menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) – dan seharusnya tetap disebut GAM meski banyak media menyebut sebagai mantan GAM— lalu kemudian menjadi pemimpin formal sebagai bagian dari pemerintah Indonesia, maka pertanyaannya GAM-kah ia atau pemerintah? Jika mau disebutkan GAM maka strukturnya seperti apa sekarang? Atau jika mau disebut sebagai pemerintah, maka tidak ada lagi cerita MoU Helsinki karena yang tersisa hanya ada satu pihak saja, Pemerintah Pusat.
Malik Mahmud, Zakaria Saman dan Zaini Abdullah mendapatkan status WNI pada 23 Juli 2010 sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Koodinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polkam) Djoko Suyanto dalam rapat di DPR yang membahas otonomi khusus di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam, Kontan.co.id [07/2010]. Hasan Tiro sendiri telah mendapatkan surat kewarganegaraannya melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-131.AH. 10.01 Tahun 2010 tentang Kewargaaan Republik Indonesia atas nama Hasan Muhammad Di Tiro, tertanggal 27 Mei 2010 yang ditandatangani langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar. Dokumen itu diserahkan pada Rabu 2 Juni 2010, diterima oleh keponakannya, Tengku Fauzi Zainal Abidin, di ruang ICCU RSU Zainoel Abidin. Esoknya, 3 Juni 2010 Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang juga tokoh kunci perdamaian Aceh itu kembali kepada Sang Pencipta setelah 12 hari menjalani perawatan intensif. aceh.tribunnews.com [06/2020].
Setelah lima belas tahun, sejatinya perdamaian di Aceh harus kokoh menunjukkan jati dirinya dan reintregrasi selesai. Tapi nyatanya Badan Reintregrasi Aceh masih ada. Perdamaian tidak boleh lagi dipengaruhi oleh hal-hal semu yang terus ditancapkan ke logika-logika awam masyarakat. Itu rentan. Naif kalau di masa yang akan datang rakyat Aceh akan protes pada sesuatu yang dari awal sudah keliru.
Perdamaian adalah harga mati. Tentu saja dengan cara-cara yang damai pula. Semoga masyarakat Aceh senantiasa dalam damai sampai ujung waktu.
Tulisan ini tayang di acehtrend.com
Komentar
Posting Komentar