“Ya Allah, telah kuikhlaskan kehormatan, harta, dan darahku atas hamba-hamba-Mu. Aku tak akan menuntut barang sebiji pun dari yang mereka punya. Tidak di dunia juga tidak di akhirat. Engkaulah sebenar-benarnya saksi dalam persoalan ini.”
Demikian munajat melankolis Ibnu Arabi menutup seri kitabnya yang bertajuk Futūhāt Makiyyah. Kitab ini dianggap sebagai salah satu kitab terpenting dalam disiplin ilmu tasawuf. Ibnu Arabi yang kontroversial itu sangat ahli meramu mistisme Islam dan kajian filsafat yang kemudian dikenal dengan Tasawuf Falsaf, bertemuanya dua disiplin ilmu antara tasawuf dan filsafat.
Ibnu Arabi lahir di tengah situasi Andalusia yang tak menentu, antara peperangan dan pemberontakan akibat ancaman penaklukan Andalusia oleh Reconquista (para penakluk), sekelompok tentara Kristen. Ia lahir di tahun yang sama ketika Syekh Abdul Kadir al-Jilani baru saja wafat.
Pemikirannya yang paling banyak diperdebatkan adalah konsep wahdatul wujud, yang oleh banyak penulis memaknainya sebagai “penyatuan diri dengan Tuhan” atau dianggap semakna dengan ittihad (ajaran tentang menyatunya Allah dengan makhluk). Meskipun, Ibnu Arabi sendiri tidak pernah menggunakan istilah yang menggabungkan kedua terma antara wahdat dan al-wujud, tapi para penulis menemukan isyarat pandangan ke arah itu. Tapi jangan lupa, Ibnu Arabi juga memperkenalkan konsep tajalli (penampakan, pengenalan) sebagai jalan tengah untuk memahami al-wujud.
Dengan tidak bermaksud menyandingkan atau menganalogikan wahdat dan al-wujud dalam konsepsi Ibnu Arabi, tapi pemahaman semacam itu dalam “wujud” kekuasaan yang saat ini berada tepat di hadapan kita semua memberikan bayangan bagaimana kekuasaan itu dipahami oleh penikmat kuasa hampir sebagai sebuah “penyatuan” antara kekuasaan dan ia sendiri sebagai pemegang kuasa.
Secara umum, pemegang kuasa mencoba masuk sekuat-kuatnya ke dalam kekuasaan dan menguasainya sampai apa yang ia katakan, ia putuskan, ia perintahkan menjadi sesuatu yang harus didengar, dilakukan, dipatuhi seakan dialah kekuasaan itu. Padahal sejatinya ia hanya pemegang otoritas atas nama rakyat yang merupakan pemilik kekuasaan tertinggi.
Lihat saja di Aceh, seorang naib hampir saja menjadi penguasa tunggal dengan segala kebijakan yang cenderung kontroversi dan diperdebatkan oleh banyak orang. Ia mulai [merasa] menjadi kuasa itu sendiri. Tidak peka, bahkan Sosiolog sekelas Prof. Humam Hamid harus menyarankan agar ia, sebagai seorang Gubernur Aceh, sebagai Panglima Perang melawan Covid-19 memiliki empati terhadap tenaga kesehatan yang sudah merasakan dampak nyata, meninggalnya dua dokter di Aceh. Jangan hanya memberi janji manis.
Terlalu banyak untuk ditulis, kejanggalan yang menyelimuti Pemerintah Aceh hari ini. Apakah ia mendengar itu? Tentu saja. Ada sekumpulan orang terdidik yang meng-counter isu-isu yang berkembang, dan itu berarti dia sedang membela majikannya sementara sang tuan hanya senyum sambil berdiskusi untuk kebijakan yang baru dan heboh lagi. Atau setidaknya menciptakan puisi baru.
Atau mungkin saja orang secara kebanyakan keliru memahami atau belum mampu menyaingi level sufi sosok penguasa pada kedalaman makna dekresi yang digulirkan untuk dan atas nama rakyat. Sehingga akan selalu tampak timpang. Rakyat tidak selevel Ibnu Arabi yang mampu membedakan antara hati dengan akal sebagai instrumen pengetahuan. Karena manusia secara teknis tidak akan sampai kepada pengetahuan akal sendiri tanpa didasari pengetahuan yang menyampaikanya pada hati.
Atau rakyat belum sanggup mendalami tajalli yang ada di balik tabir kebijakan-kebijakan yang tampak seperti kontrapoduktif bagi awam. Dan suatu saat nanti, perwujudan makna yang sebenarnya akan muncul dan mengagetkan semua orang, ternyata benar arah kebijakan selama ini. Tapi khawatirnya, saat itu terjadi, hampir setiap orang telah merasa kelaparan akibat kemiskinan. Atau saat ia telah terpuruk dalam nista dosa, dalam noda hitam sejarah. Tanpa jabatan dan pengaruh untuk bersuara kembali untuk menunjukkan sebuah bukti.
Ibnu Arabi dikritik dengan sangat tidak berimbang. Lebih dari seratus karya ditulis dengan pandangan membela pemikiran Ibnu Arabi, dan hanya sekitar lima belas karya yang menghujat pemikirannya, termasuk di antaranya Ibnu Taymiyyah dan Mas’ud Taftazany yang menghujat secara terang-terangan. Di bagian lain sejuta rakyat berbicara tentang amburadulnya pengelolaan pemerintahan, dan hanya beberapa puluh saja yang mencoba membela dari balik topeng media sosial dan dibayar.
Ketika telah merasa pada level “wujud” kuasa, maka rasa memiliki antara diri dan kuasa bisa tak berbatas. Semua tindak adalah tindak kuasa, semau-mau gue hanya persepsi dari alam lain. Sehingga kepemilikan kuasa adalah kepemilikan diri, termasuk anggaran dan kewenangan. Banyak pejabat yang mencoba masuk pada level ini. Mengambil kepemilikan kuasa bukan koruptif, karena ia adalah kuasa itu sendiri. Jadi beramai-ramai memperkaya diri untuk menyiasati jelang akhir kuasa.
Dalam mimpinya, ia berujar; Aceh is mine, Aceh is me!
Tulisan ini tayang di acehtrend.com
Komentar
Posting Komentar