Hari telah tinggi kala matahari pada Sabtu (41/10/2020) menyengat tiap inci bumi dengan panasnya yang mencapai 32 derajat Celsius. Kota mini Panton Labu, Aceh Utara, sangat sibuk. Di tiap sudut manusia silih berganti lalu – lalang dengan urusan masing – masing. Laju sepeda motor, mobil dan becak, saling mengisi kebisingan kota.
Di depan sebuah toko, tiga lelaki berbadan tegap sibuk menurunkan barang dari badan truk dan memasukkannya ke dalam sebuah kedai. Tidak jauh dari mereka, tukang becak wara – wiri mencari penumpang. Perempuan paruh baya menjinjing barang belanjaan yang telah dibungkus plastik.
Di sebuah ruas jalan yang diapit rumah toko (ruko) yang berjejer di kiri dan kanan, seorang lelaki bertopi tactical loreng, dan memakai rompi orange, sibuk mengatur parkir sepeda motor di sepanjang ruas yang menjadi wilayah kelolanya.
Namanya Husni (33) petugas parkir yang mendapatkan mandat menjaga ketertiban parkiran di sebagian ruas jalan di terminal.
Lelaki berkulit sawo matang itu, memakai masker scuba bermotif loreng. Dia memakai slingbag warna hitam. Celana cokelat dan kaos warna putih.
Prit! “Mundur! Terus!” Suara peluit melengking membelah siang di ruas jalan itu. Tangannya ikut melambai memberi aba – aba agar pengguna jalan berhati-hati karena ada kendaraan roda dua yang akan keluar dari parkiran.
Tangan kekar Husni mencengkram behel (handle back) motor dan menarik pelan agar pengguna kendaraan roda dua itu tidak kewalahan mendorong motornya ke belakang untuk mencapai posisi siap jalan.
“Trus!” Isyarat Husni lagi, kemudian menutup mulutnya kembali dengan masker. Ia mengayunkan tangan kirinya menghalau pengendara lain agar memberi ruang.
Seperti kulit orang pada umumnya, kulit Oni, panggilan akrab Husni, tidak kebal dari sengatan panas matahari negara tropis seperti Indonesia. Tapi ia telah melewati fase-fase sensifitas pada kulitnya seiring waktu kerjanya melawan panas rata-rata 7 jam per hari. Bisa ditandai dari kulit arinya yang tampak seperti lebam, kehitaman, berbeda dengan warna kulit badan yang ia selimuti dengan baju.
Oni harus menerima tantangan ini untuk menghidupi keluarganya. Ia menggeluti pekerjaan itu sudah lebih lima tahun. Oni tidak punya banyak pilihan karena ia tidak sempat menamatkan SMP. Kehidupan keras kawasan terminal menjadi familiar baginya.
Ia mengawal dua deret tepi jalan yang di masing-masing sisi berdiri 4-5 toko. Penetapan lapak itu sendiri setelah melalui perjanjian dan kontrak dengan Dinas Perhubungan Aceh Utara. Setiap hari ia harus menyetor retribusi Rp30 ribu. Bila dikalkulasi per bulan Rp 1 juta.
Oni biasanya mendapat penghasilan Rp100 ribu sampai Tp120 ribu perhari jika ia bekerja penuh waktu. “Tidak banyak, Bang, tapi minimal dapur di rumah tetap mengepulkan asap,” katanya.
Sesekali istrinya pun turun tangan membantu ekonomi keluarga. Dia membuat kue di rumah.
Pandemi memberi dampak negatif bagi Oni. Kemampuan belanja masyarakat turun, otomatis yang menggunakan jasa parkir juga tidak ramai. Sayangnya lagi, saat pendataan BLT nama Oni tidak muncul. Sementara PKH dan sejenisnya juga tidak ia dapat meski sudah tanya sana sini. Ia sepertinya pasrah ketika berujar “Rezeki Allah yang atur, di sini (tempat parkir) juga demikian, kita tidak bisa memaksa orang untuk parkir.”
Menjadi juru parkir tentu ada tantangannya. Ia menghadapi bermacam tipe orang dengan status sosial yang berbeda-beda. Ia bisa terima ketika ada orang yang tidak membayar jasa parkir tapi hanya memberinya seulas senyum minta pengertian. Tapi ada orang yang mau dibantu dorong mundur motornya malah menepis tangannya sambil mengeluarkan kalimat dengan nada kasar yang mengesankan Oni seorang preman. Biasanya Oni coba kasih pengertian, tapi kalau dilawan lagi Oni harus ‘berpidato’ agak kasar.
Menjadi tukang parkir memang kerap disangka preman. Padahal bagian tidak terpisahkan dari pengumpulan retribusi, yang kelak dipergunakan untuk kepentingan pembangunan daerah. Oni merasakan betul image negatif itu dari sebagian orang. Pandangan sinis terhadap tukang parkir, lahir dari ketidaktahuan betapa pentingnya peran mereka di tengah pasar yang ramai. Tanpa tukang parkir, maka akan centang – perenang. Siapapun akan parkir sesuka hati dan dampaknya akan terjadi macet di mana – mana.
Tulisan ini dimuat di acehtrend.com
Komentar
Posting Komentar