Apa yang dirilis detik.com dua hari lalu (15/02/2021) bahwa penduduk miskin di Aceh meningkat dan mencapai 19 ribu orang pada September 2020, menyakitkan dan membuat kita semua prihatin. Ini tentu saja bukan tentang kesalahan detik.com, media ini memuat data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh yang dibedah dalam sesi konferensi pers virtual. Menurut data itu secara persentase, angka kemiskinan di Aceh sebesar 15,43 persen atau sekira 833,91 ribu orang dan itu tertinggi di Sumatera.
Sah-sah saja ada yang kecewa dan mempertanyakan keabsahan data BPS, tapi bagaimanapun, BPS punya standar metodelogi ketika melakukan survei yang melibatkan sekian banyak orang dan jika itu dilakukan sesuai metode tentu saja datanya sah secara ilmiah. Sejatinya kita harus membuat survei serupa untuk mampu membantah keakuratan data mereka. Tapi kita tidak punya sumber daya yang cukup, kecuali dilakukan oleh sebuah lembaga.
Aceh dengan jumlah penduduk 5,4 juta jiwa berdasarkan data BPS per 2019 dengan alokasi APBA 2020 senilai Rp17,2 T memang terlihat timpang jika dibandingkan dengan Bengkulu yang berada di urutan kedua dengan jumlah penduduk sebanyak 2.1 juta jiwa, ketersediaan APBD mereka hanya Rp3,3 T. Tapi untuk membandingkannya tentu saja tidak semudah menyandingkan angka karena karakter dan ketersediaan fasilitas daerah yang mungkin berbeda.
Namun tetap saja, dengan anggaran Rp17,2 T di 2020 Aceh jatuh miskin (lagi) menjadi sesuatu yang tidak adil. Meskipun semua kita sadar bahwa membalikkan keadaan ini tidak cukup dengan sekadar wacana, tapi membutuhkan kerja taktis, teknis dan langkah-langkah konkrit untuk penyelesaiannya dengan jangka waktu yang juga tidak singkat. Tapi tragisnya klaim kemiskinan ini bersambung tahun layaknya juara bertahan.
Atau jangan-jangan sesuatu terjadi dengan sistem anggaran kita. Bahwa anggaran terlalu rakus untuk kepentingan yang sifatnya proyek oriented termasuk di sektor distribusi bantuan untuk petani sekalipun, misalnya. Dari sekian banyak petani binaan pemerintah dengan bantuan bibit, pupuk. dsb untuk petani, berapa persenkah hasil pertanian itu mampu mengubah kedaan? Dari sekian tahun?
Pemerintah pada dasarnya aktif melakukan lobi-lobi termasuk melobi pelaku usaha luar negeri untuk melakukan investasi di Aceh. Dan nyatanya beberapa investor datang, melakukan pembicaraan dan beberapa MoU awal ditandatangani. Anehnya nyaris tidak ada implementasi, kenapa? Sebahagiannya terkendala pada proses perizinan dan itu di Pusat meskipun secara UUPA 11/2006 kita kuat. Selebihnya ada yang mensinyalir pelaku dan sistem birokrasi kita sangat lapar dan eksistensi serigala perang yang rapuh. Investor pilih angkat tangan dari pada mereka harus angkat kaki nantinya.
Posisi rakyat? Mungkin rakyat juga sudah mulai khliaf bahwa kekuasaan yang diotorisasi kepada legislatif dan eksekutif harus dikritisi secara cermat. Sebagai representatif negara, lembaga-lembaga ini harus menjamin kesejahteraan rakyat, karena untuk itulah eksistensi keberadaan mereka. Menjamin hak-hak dasar rakyat terpenuhi, bukan malah sebaliknya rakyat dan kekayaan alamnya menjadi alat bagi mereka untuk mengeruk keuntungan.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah harus bersikap bijak dengan mencari solusi konkrit dan cepat untuk keluar dari himpitan kemiskinan, dengan langkah-langkah nyata. Begitupun pemerintah daerah harus melihat ini sebagai pukulan terhadap kinerja pemerintah di Aceh secara umum, bukan justru menambah beban rakyat dengan kenaikan-kenaikan beban bayar seperti wacana kenaikan tarif PDAM di Aceh Timur, pemerintah bisa dinilai tidak peka pada keadaan di tengah badai pendemi yang sangat berdampak pada sektor ekonomi masyarakat.
Aceh sepertinya memang kronis, sehingga beberapa profesional sempat mewacanakan ‘merampas’ Aceh dari balik layar. Mereka mempersiapkan beberapa intelektual handal dengan latar belakang master of business, membangun networking yang bagus dan financial support yang memadai untuk menyabotase kekuasaan secara legal di bawah komitmen Aquarius yang rapi.
Pemerintah harus mendahului mereka dengan menunjuk semacam tim khusus penguatan ekonomi yang bukan hanya tim SK tapi profesional yang cakap dan siap bekerja penuh komitmen, dan pemerintah harus siap pula membuka diri untuk dikritisi secara faktual dan menyelaraskan arah kebijakan yang pro rakyat.
Ada kabar baik, untuk menghadapi situasi ini, Pemerintah Aceh mulai berusaha menyusun program untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, sebagaimana dirilis detik.news.com (16/02/2021). Untuk tahun ini saja telah disiapkan anggaran Rp9,384 triliun mengutip Teuku Ahmad Dadek, Kepala Bappeda Aceh. Menariknya, Rp41 miliar dana itu bersumber dari dana CSR. CSR beberapa perusahaan cenderung tertutup dan bersinergi dengan kebijakan daerah tapi tidak fair pada saat masuk ke wilayah kekuasaan.
Di sisi lain, kebijakan perusahaan besar biasanya difokuskan di kantor induk, Jakarta, sehingga kerjasama yang dibangun untuk pemanafataan dana CSR bermitra dengan lembaga-lembaga yang bergerak di level nasional yang secara kapasitas mereka sudah berpengalaman, atau bahkan membentuk semacam yayasan binaan di bawah kontrol perusahaan. Akibatnya, lembaga lokal wilayah operasi proyek tidak terberdayakan dan dapat menimbulkan gesekan di tingkat lokal. Setidaknya itu terlihat dari beberapa pemberitaan tentang Medco EP Malaka yang beroperasi di Aceh Timur dan Triangle Pasee Inc. Aceh Utara. Ironisnya lagi jika akibatnya beban biaya operasional mitra menjadi tinggi dan menguras jatah yang seharusnya mampu menampung lebih banyak program.
Semoga inisiasi angka Rp9,3 triliun itu bukan merupakan resume anggaran yang sudah disahkan dan dibuat kondisional, itu tidak mengubah keadaan. Pemerintah harus mendukung upaya-upaya di lapisan bawah yang sudah mulai bergerak untuk merubah keadaan. Ada banyak lembaga dan forum yang siap menghibbahkan tenaga dan kemampuannya dan berdiri bersama masyarakat untuk sebuah perubahan.
Sebut saja Aceh Bertani Community (ABC) di Bireuen, ada Komunitas Petani Muda Pase (KPMP), dan baru-baru ini muncul Forum Petani Organik Rakan Pak Tani di Aceh Timur yang punya cita-cita besar mewujudkan setiap padi yang ditanam diperlakukan secara organik agar beras yang dikonsumsi masyarakat Aceh lebih sehat.
Mimpi besar mereka mendampingi petani untuk perlakuan organik, lalu menampung hasil panen sebisanya, khususnya padi, kemudian diolah menjadi beras untuk konsumen pasar lokal dengan harga yang sama. Itu mimpi benar yang harus didukung agar terwujud.
Semoga Aceh tahun depan adalah Aceh Kaya.
Tulisan ini dimuat di acehtrend.com
Komentar
Posting Komentar