Langsung ke konten utama

Pilkada Aceh di 2022, Mungkinkah?

 


Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh secara gagah melakukan pleno penetapan tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dalam Provinsi Aceh pada tahun 2022 yang tahapannya akan dimulai pada 1 April 2021. Ini keputusan luar biasa di tengah pergulatan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pemilihan Umum di Badan Legislasi DPR RI.

Secara merunut, tahapan dimulai dengan sosialiasi pada 1 April 2021, pendaftaran pasangan calon dilakukan 11-13 November dan dilanjutkan penetapan pasangan calon pada 2 Desember 2021. Lalu dilanjutkan dengan masa kampanye yang dimulai 5 Desember sampai 13 Februari 2022, empat hari setelahnya langsung dilakukan pemungutan suara pada 17 Februari 2022. Hal itu tertuang keputusan KIP Aceh Nomor 1/PP.01.2-Kpt/11/Prov/I/2021. Nashkah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) akan ditandatangani untuk menjamin semua proses berjalan dengan baik.

Keputusan ini tentu tidak gegabah, mengingat di medio Desember 2020 KIP Aceh sudah mewacanakan untuk melakukan koordinasi dengan KPU RI setelah serangkaian koordinasi dengan Gubernur dan DPRA. Regulasi yang memperkuat putusan KIP Aceh tentu saja berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Pada pasal 65 UU ini menyebutkan bahwa pasangan kepala daerah di Aceh dipilih secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Artinya jika Pilkada sebelumnya di 2017 maka perhelatan selanjutnya adalah 2022.

Bagaimanapun, dalam konteks regulasi nasional Keputusan KIP Aceh mendahului dinamika yang sedang hangat di Senayan. Rancangan Undang-Undang (RUU) baru Pemilihan Umum sedang dibahas oleh DPR RI yang merupakan bagian dari salah satu yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021 yang bertujuan untuk memenuhi prinsip-prinsip keadilan politik dan harapan rakyat Indonesia ke depan.

Dalam RUU Pemilihan Umum ini memang mewacanakan penyelenggaraan Pilkada setelah 2020 kemarin akan digelar lagi pada 2022 dan 2023 dengan beberapa kemungkinan normalisasi. Asumsi awal yang ingin dicapai dari RUU Pemilu ini terwujudnya pilkada secara serentak di tahun 2027 yang disebut dengan Pemilu Daerah. Seluruh provinsi, kabupaten dan kota yang ada di Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah di tahun yang sama.

Masa jabatan kepala daerah melalui pemilihan tahun 2020 yang habis pada 2025 akan diisi pejabat sementara hingga pemilihan tahun 2027. Sementara, kepala daerah yang terpilih pada tahun 2022 dan 2023 masa jabatannya akan habis sampai terpilihnya kepala daerah pada Pemilu Daerah tahun 2027. Agar semua rancangan ini berjalan efektif, RUU Pemilu bermaksud memisahkan rezim Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Pemilu Nasional terdiri dari Pilpres, Pileg DPR RI, DPRD provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI. Sementara Pemilu Daerah adalah pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wali kota serta Wakil Bupati/Wakil Wali kota.

Artinya bagi daerah yang baru saja menghelat pilkada 2020, maka baru akan kembali kembali menggelar pemilihan pada 2027 mendatang. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 731 Ayat (1). Alhasil, pemilihan kepala daerah di 34 provinsi, 98 kota dan 416 kabupaten akan dilaksanakan di waktu yang bersamaan. Mengutip bunyi pasal 734 Ayat (1) draf revisi UU Pemilu; “Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.”

Perkembangan terakhir di Senayan, hampir seluruh fraksi sepakat bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak dinormalisasi dan diadakan pada tahun 2022 dan 2023, sebagaimana dijelaskan Saan Mustopa, Wakil Ketua Komisi II DPR RI untuk Tempo.co. Namun PDI Perjuangan memberikan catatan dan menginginkan pilkada serentak digelar 2024, sementara Partai Gerindra belum menyampaikan sikap apapun terkait draf RUU ini bahkan ketika penyusunan draf.
Jika asumsi pilkada serentak di 2024, maka ada 101 kepala daerah hasil pemilihan 2017 dan 170 kepala daerah hasil pemilihan 2018 akan berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023, namun tidak ada pilkada di tahun tersebut.

Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.
Dalam analisa Titi Anggraini, Pembina Perludem, beberapa pertimbangan muncul yang melatarbelakangi jadwal pilkada serentak nasional diselenggarakan 2024. Di antaranya agar pemilu dan pilkada tidak terlalu sering digelar agar stabilitas pembangunan dan ekonomi bisa terjaga dengan baik, agar tidak terjadinya interupsi aktivitas politik yang terlalu intens.

Kemudian untuk memastikan bahwa tidak banyak aktor politik yang lompat pagar dalam pencalonan jabatan politik akibat jadwal pemilu dan pilkada yang tidak bersamaan, meninggalkan jabatan legislatif dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Meskipun, di balik pertimbangan-pertimbangan tersebut, ada ancaman elektoral cukup besar kalau pemungutan suara pilkada serentak nasional tetap dilaksanakan pada 2024, pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Setidaknya, jika RUU ini disepakati atau Kemendagri memberikan rekomendasi bagi perhelatan Pilkada di Aceh pada 2022, maka Aceh akan memulai tahapan dengan mudah karena persiapan yang sudah memadai. Selain pemilihan Gubernur, Aceh juga akan melakukan pemilihan Bupati/Walikota untuk 20 kabupaten/kota, yaitu;Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie, Bireuen. Kemudian Simeulue, Aceh Singkil. Aceh Barat Daya, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Tengah dan Aceh Tamiang. Lalu Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa dan Sabang untuk pemilihan Walikota.

Semua kita berharap Keputusan KIP Aceh tidak memberi dampak terlalu jauh pada mekanisme anggaran sebagaimana dikhawatirkan Aryos Nivada yang dimuat media ini Rabu (27/01/2021) bahwa seharusnya usulan anggaran pilkada menjadi dasar bagi penetapan peraturan Gubernur Aceh tentang standar pilkada Aceh. Namun, hingga kini belum keluar pergub tentang standar biaya pelaksanaan Pilkada Aceh Tahun 2022. Padahal pergub standar biaya Pilkada Aceh merupakan kewajiban sebagaimana diatur Permendagri Nomor 54 Tahun 2019.

Diolah dari berbagai sumber.

Tulisan ini dimuat di acehtrend.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petikan Senar Jasmine (Sebuah Cerpen)

Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah   easel stand   yang menampung sebuah   lukisan realis   berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk   finishing . Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya. Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali. Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Ke...

Harmoni di Tepi Krueng Lokop dan Bakti Pak Tani untuk Negeri

  Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan  start  dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana. Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaks...

Tumpôk Asëë Lêt

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya. Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan  hana sapue na . Sebuah perumpamaan keluar dar...