Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan start dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana.
Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaksakan berangkat untuk menutupi kekecewaan masyarakat di sana yang sudah menunggu.
Zulfan adalah Pak Tani, ketua tim itu. Ia beberapa kali harus turun dari mobil ketika “mobil kotanya” tak mampu mendorong kami ke atas bukit. Mobil itu memang didesain tidak mempunyai daya dorong yang kuat dari ban belakang. Putaran ban depan mengikis bebatuan dan terbang ke arah mesin di bawah mobil. Tapi kami tidak punya pilihan untuk berhenti. Naik, turun, naik dan turun lagi terpaksa dilakukan beberapa kali agar mobilnya mampu menjangkau ke atas bukit. Jika saja tiba-tiba hujan, mungkin kami tidak akan sampai ke sana.
Tim Forum ini memang terdiri dari orang-orang yang mempunyai optimisme yang tinggi. Di tengah kemajuan teknologi kimia yang semakin berkembang untuk tanaman, mereka justru mengumandangkan pola organik dan kembali ke alam yang sedianya menyediakan berbagai kebutuhan nutrisi dari tanaman satu untuk tanaman lainnya. Seperti rantai makanan, tanaman juga saling melengkapi. Mereka tidak berbicara kompos yang terbuat dari kotoran hewan yang jamak dipahami awam, tapi mengandalkan hijauan atau tumbuh-tumbuhan yang diramu dan diaplikasikan tanpa fermentasi.
Begitupun pestisida, beberapa tumbuhan dipakai dan diracik untuk mencegah hama, iya sifatnya mencegah, tidak membasmi untuk menjaga keseimbangan makhluk hidup. Kecuali untuk beberapa kasus yang layak basmi.
Tiba di Lokop, tim menyusuri jalan kecil yang hanya muat satu mobil. Beberapa kios yang berjejer di pinggir jalan. Kami menemukan suasana alam yang sangat memesona. Seorang gadis remaja sedang menanam padi di sawah yang berpetak kecil. Petakan sawahnya melengkung dan bertingkat. Di depan kami sebuah kubah masjid berdiri megah di antara perumahan warga yang lumayan padat. Kami seperti masuk ke taman aquarium, air ada di mana-mana, air yang jernih dan dingin.
Semakin ke dalam, alam menyambut kami dengan pemandangan yang menyejukkan. Sungai Lokop menjadi garis batas Gampong Sunti di sebelah barat. Sungai deras dengan bebatuan padat di sisi sungai. Hamparan bebatuannya luas ketika musim kering. Sebuah jembatan gantung menjadi penghubung yang lebih dekat antar desa. Tapi hanya bisa dilalui sepeda motor. Sungai yang menyajikan panorama alam yang indah dan bersahabat. Tapi sewaktu-waktu, sungai ini beringas dan menujukkan kekuatannya menghantam perkampungan dengan gelondongan kayu potongan manusia yang dipersembahkan kembali meski korban adalah orang berbeda.
Zulfan melakukan demo pembuatan pupuk organik ketika warga telah usai salat Isya di masjid. Acaranya dipusatkan di balai desa yang masih berhadap-hadapan dengan masjid. Blender, alat penggiling milik ibu Saleh Deri –seorang pemuda setempat yang juga anggota forum, terpaksa diangkut ke balai sebagai alat untuk mengambil ekstrak hijauan yang dijadikan sebagai pupuk. Seorang bapak terkekeh-kekeh ketika mengatahui daun asan teungeut (jenis trembesi) yang pohonnya ia tanam di sepanjang pagar rumahnya dapat menjadi salah satu bahan untuk pembuatan pupuk. Ibu-ibu yang hadir juga saling berbisik ketika melihat ada potongan lidah buaya di antara bahan-bahan yang disiapkan. Begitu pun ketika melihat cabe rawit, mereka pikir seperti resep menu sayuran.
Pagi hari, ketika hawa masih terasa dingin, sekira pukul tujuh, kami diajak berkunjung ke sebuah rumah, tidak jauh dari tempat kami menginap, hanya menikung di antara beberapa rumah yang padat ke arah belakang. Tiba-tiba kami berpapasan dengan rombongan kecil dari arah berlawanan. Seorang bocah memayungi lelaki paruh baya yang melilitkan selendang di lehernya dan di dalam kain itu seorang bayi tertutup dengan sempurna. Lelaki ini memakai peci dan melilitkan beberapa untai kangkung di peci seperti seorang kaisar Roma. Seorang wanita berjalan di depan, bibirnya merah darah karena ia sedang mengunyah sirih. Mereka menuju ke arah masjid. Mereka sedang melakukan ritual turun tanah untuk seorang bayi.
Kami dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Di dalam rumah telah duduk berjejer para tetua kampung, saling bersosialisasi sambil merapikan hidangan yang disajikan tuan rumah. Dua orang pemuda mondar mandir mengambil menu dari dapur seperti estafet. Setiap orang mendapatkan sepiring nasi, satu mangkuk kecil kari ayam dan mie lidi di sebuah piring kecil tapi di dalamnya ada sepotong ikan bawal yang sudah dipanggang. Kami saling senyum karena belum paham bagaimana memadukan semua menu ini.
Di hadapan Teungku Imam, sebuah mangkuk kecil mengepulkan asap terus menerus dan menebar bau kemenyan yang kentara ke seluruh ruangan. Sang imam menaruh telapak tangannya di atas mangkuk, mengasapi tangannya kanan kiri sambil membaca sesuatu, lalu mengusap wajahnya. Menurut teman saya, kemenyan dapat menangkap virus dan energi jahat yang ada di udara sekitar dan menghancurkannya dengan asap yang mengepul. Ada penelitian di Jepang tentang ini, seperti mereka melakukan penelitian tentang air yang ketika dibacakan sesuatu yang positif atau ayat-ayat Quran maka air itu dapat mengubah dirinya menjadi air yang mengandung energi positif.
Rombongan kecil tadi baru saja kembali dari masjid, lalu sang imam memberi sebuah tanda untuk memulai khidmat. Mulut imam mulai membacakan sesuatu. Di lereng Gunung Sunti yang menjulang di sebelah timur ketika paparan cahaya matahari sekalipun belum mampu menerpa ke seluruh desa, suara sang imam terasa melengking membelah keheningan pagi itu dengan alunan langgam lama yang menyentuh. Terasa sesuatu ingin menerobos mata saya, lalu menunduk, menyembunyikan suasana hati yang tersentuh dengan bacaan tasbih tahmid sang imam. Bacaannya hampir persis ketika bangun pagi, biasanya saya mendapati ibu saya di musalla kecil rumah kami sedang membaca doa-doa selesai salat. Berada di antara sepuh desa yang kemudian ikut meniru bacaan imam, seakan saya sedang berada di belahan lain, seakan jauh dari keramaian dan hampir mencapai kedamaian batin hakiki.
Usai doa, semua dipersilahkan menyantap hidangan yang disajikan sebagai syukuran hari itu. Menunya sederhana tapi cita rasanya khas masakan orang desa dengan campuran bumbu yang lengkap. Lalu seorang ibu menyerahkan bayi ke pangkuan imam dan beberapa doa dibacakan lagi untuk keberkahan hidup bayi mungil itu di masa yang akan datang. Orang-orang mulai pamit.
Seorang lelaki tua bangkit dan membuka peci hitamnya lalu mengambil uang pecahan puluhan ribu rupiah di sela pecinya dan disisipkan ke bambu yang berisikan beras yang terbuat dari kayu pahatan, tiga buah pinang menguning diletakkan di atasnya.
Lokop, sudut negeri yang indah dengan suasa pedesaan yang masih kentara dan masyarakat yang ramah. Tapi kami harus pamit. Ibu Saleh Deri memberi kami dua bungkusan yang berisikan padi sebagai tanda mata. Padi itu merupakan varietas yang ada di sana, sri putih dan intan balam. Semoga varietas ini nantinya akan menjadi ikon padi Lokop yang mendunia.
Tulisan ini dimuat di acehtrend.com
Komentar
Posting Komentar