Langsung ke konten utama

Petikan Senar Jasmine (Sebuah Cerpen)


Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah easel stand yang menampung sebuah lukisan realis berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk finishing. Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya.

Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali.

Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Kesederhanaan telah diterjemahkan sebagai kekalahan, ketidakmampuan dan tidak punya masa depan.

Kepuasan batin mulai menyeruak kebekuan hatinya manakala ia berasa mempunyai sesuatu yang mampu memahami imajinasinya, menunjukkan kenyataan seperti yang ia mau, tampil jujur apa adanya, ia dapat menularkan semacam kasih sayang dalam setiap sentuhan kuasnya. Pada lukisan itu, iyaa.. lukisan yang ia buat, sejatinya ia sedang merepresentasikan kehendak batinnya sendiri, dan sebuah lukisan tentu saja tidak dapat berbohong.

Seorang perempuan duduk separuh badan dan menyandarkan bebannya pada tangan sebelah kanan. Menengadah dengan tatapan yang menantang tajam, menembus rambut lurus yang menutupi sebagian wajahnya. Bibirnya seakan sedang urung mengatakan sesuatu sehingga ujung giginya sedikit tampak yang menimbulkan kesan dewasa. Tubuhnya berbalut pakaian minim tipis menyemangati sang pelukis untuk terus bekerja menyempurnakannya. Hanya butuh beberapa goresan lagi dan Suhban akhirnya mempunyai sebuah karya fenomenal. Seorang gadis dalam imajinasi tak berbatas yang menampilkan kejujuran setara dirinya.

Jelang purnama ketiga, Suhban menyelesaikan semua tahapan, menyematkan lukisan itu pada petakan kayu dan mengisi sebuah pojok ruangan jelang menyatunya sisa-sisa cat yang masih basah. Diterangi cahaya lampu, Suhban mencermati semua sisi lukisan hasil karyanya, memastikan tidak ada bagian yang ia lewati yang dapat mempengaruhi rasa puasnya. Ia larut, berimajinasi dalam batas warasnya sampai matanya lelah dan ia ketiduran di kursinya. Ia terjaga dan setengah kaget karena mendengar suara benda yang terjatuh. Ia khawatir sandaran lukisannya rubuh, tapi itu tidak terjadi. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, ia melanjutkan tidur di kamarnya.

Malam ketiga lukisan itu ditempel di kamar tidurnya, ketika punama bulat penuh cahaya, Suhban baru saja mematikan lampu dan melepas lelah di kasurnya, tiba-tiba seakan melihat sebuah bayangan dari kisi-kisi kain penutup jendela kamarnya. Melintas dengan pelan dan matanya menangkap ujung selendang yang tertiup angin. Suhban memastikannya ke luar jendela, namun ia tidak mendapatkan apa-apa selain cahaya bulan yang benderang. Ia menyalakan lampu dan tidak ada yang berubah.

Pancaran panas mentari yang menembus jendela kamar menyeka kulit Suhban untuk segera bangun. Masih setengah normal, Suhban menyadari jika ia telah melewati kewajibannya karena bangun kesiangan. Sambil menyeka mata dengan jemarinya Suhban bangun dan duduk, menguap di sisi ranjangnya. Kesadarannya mulai pulih ketika ia merasa agak asing dengan suasana kamarnya, rapi.

Seseorang telah menempatkan segala sesuatu yang biasanya acak pada bagian-bagian yang seharusnya ditata. Suhban masih berpikir efek bangun tidur atau ia masih bermimpi. Sekelebat bangkit menuju kamar mandi. Setelah mencuci muka ia kembali ke kamarnya, dan benar… semuanya tampak rapi. Ia melongo, tidak bisa berpikir apa yang sedang terjadi. Adik dan kerabatnya tidak mungkin bisa datang secepat itu dan membantu semuanya agar tampak bagus. Suhban menempati sebuah gudang peninggalan ayahnya yang ia sulap menjadi rumah lajang dan itu terpaut jarak yang lumayan dari rumah induk.

Suhban serasa menemukan sebuah senyum penuh makna ketika ia memelototi lukisannya, karena pikirannya sudah kemana-mana. Ia telisik kembali, tidak ada yang berubah dari gestur wajah di lukisan itu. “Ah… Apa aku mulai gila?” ketusnya dalam hati. Lalu ke belakang mempersiapkan sarapan. Di depan pintu dapur Suhban ingin berteriak “Hei!” memanggil seseorang yang mungkin ada di sana. Siapapun. Suar wood sederhana yang ia tempa sendiri menjadi sangat mewah dengan beberapa jenis buahan dan segelas jus di atasnya. Suhban tak percaya apa yang lihat. Terduduk di antara palang pintu sambil memijit kepalanya. “Aku mulai gila!” gerutunya.
Suhban memilih mandi dan keluar dari rumah mencari café terdekat untuk sarapan sambil membaur dengan orang-orang untuk memastikan bahwa dunia hari ini masih dunia yang kemarin, dan ia tidak gila. Semua tampak normal, seorang sahabat menyapanya seperti biasa. Pelayan café juga menanyakan pesanan dengan wajar. Hanya Suhban sendiri yang terasa ling-lung. Ia menghabiskan lebih dua jam untuk segelas kopi sambil menelpon teman-temannya meski hanya sekedar tanya kabar. Ia hanya ingin membuktikan bahwa semuanya masih normal.

Ia menjadi takut pulang, tapi ia tidak punya pilihan. Setibanya di rumah, dia memastikan sarapan yang tadi tersedia di meja. Masih utuh. Ia memberanikan diri mencicipi sebilah jeruk manis sambil mengawasi sekeliling. Ia mendapatkan rasa yang normal layaknya jeruk lain. Lalu mecoba anggur hitam dan rasanya juga persis anggur lain. Tidak ada yang aneh selain kemunculan buah-buahan itu yang ia yakini tiba-tiba.

Memasuki kamar sambil melirik ke segala penjuru, sudut matanya menghardik lukisannya, tetap utuh. Lalu duduk di sisi ranjang, membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. Adiknya datang, tapi melihatnya pulas, lalu merapikan kamarnya dan menyiapkannya sarapan buah meski itu bukan waktu yang lazim untuk makan buah. Tapi ia tidak akan mempunyai cukup waktu!

Suhban mengambil gitar tuanya, memetik pelan senar satu demi satu untuk menghilangkan kerisauannya. Ia mati ide. Lalu memutuskan untuk pulang ke rumah induk dan makan siang di sana. Ia sedang mencari tahu dengan beberapa pertanyaan pada setiap orang. Tapi tidak seorangpun yang bercerita bahwa seseorang telah singgah ke rumah lajangnya.

Usai makan malam, Suhban pamit dari rumah. Dia ragu, tapi dibaluti penasaran yang memuncak tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia mulai berpikir butuh seseorang untuk menceritakan apa yang ia alami dan berharap teman itu mau mempercayainya. Ia menghadapi hari yang berat selama hampir dua puluh empat jam terakhir.

Suhban baru ingat sesuatu ketika ia baru saja tiba di depan pintu rumah lajangnya. Ia lupa mematikan saklar lampu belakang, ia bangun telat tadi pagi. Dan cahaya lampu itu membantunya tidak terlalu asing dan meraba-raba ketika masuk. Meletakkan kelengkapan berkendara dan menuju kamar untuk rebahan. Ketika menghidupkan lampu kamar, Suhban kaget, terpana, melongo sambil menutup mulutnya. Ia ingin berlari keluar, tapi seperti lumpuh, kakinya lemas tak berdaya.

“Jasmine…?” bertanya seperti mendesah. Di hadapannya, di kursi meja kerjanya duduk seorang perempuan dengan sempurna, menunggunya dengan sabar, terlihat dari posisi duduknya yang sedikit menyamping, menyilangkan kaki dengan sopan dan separuh badannya menyandar.

“Iya, maafkan aku jika mengagetkanmu, Bang,” jawab sosok itu akrab.

Mendengar jawaban itu mengendurkan rasa takut Suhban. Sapaan yang sangat akrab dalam intonasi yang menyejukkan disertai nada pasrah dan tatapan penuh menyesal.

“Tapi.. kenapa kamu ada di sini?” sedikit memaksa melawan ketakutan.

“Aku di sini menemanimu, Bang. Izinkan aku.” masih nada menyesal, menunduk.

“Ini…,” Suhban mulai menunjukkan sikap normal, tidak takut lagi, “Benarkah kamu Jasmine?”

“Iya, Bang. Ini aku, Jasmine.”

“Kamu lucu sekali dalam balutan baju usangku.”

“Oh! Maafkan aku, Bang. Aku tidak punya pilihan, dan kupikir ini baju terbaikmu.” Saling membalas senyum. Jasmine berdiri, melempangkan kedua tangannya ke belakang.

“Jasmine, kamu begitu sempurna. Bolehkah aku merangkulmu?” Suhban ragu, tapi ia harus mencairkan suasana.
Jasmine melebarkan tangannya, perlahan Suhban mendekat dan mereka saling berangkulan. Suhban tak kuasa menahan tangis. Terharu, bahagia tapi tetap bingung. Rangkulan yang begitu akrab dan tulus, menyiratkan kerinduan yang sekian lama menyesak dada. Jasmine paham apa yang terjadi pada Suhban, ia hanya mempererat rangkulan ketika ia sadar Suhban menangis di pundaknya.
Cerita satu ke cerita lainnya, kisah demi kisah mengisi malam panjang mereka. Suhban membuka rekaman masa lalu, kisah sedih, hanya untuk ditertawakan. Ketika melewati tengah malam, Suhban menawarkan sebuah lagu dengan petikan gitarnya. Jasmine sangat menikmatinya, menepuk ringan tangannya mengiringi alunan nada.

Tak disangka, Jasmine meminta gilirannya. Masih setengah percaya, Suhban menyodorkan gitar. Sambil melirik manja, ujung jemari Jasmine memetik senar akustik yang menghanyutkan. Jasmine memberi isyarat ke Suhban untuk tidur dan ia antar dengan kesyahduan petikannya. Suhban ibarat merasakan pijatan ringan di bagian kepalanya di nada-nada tertentu, merenggang saraf otaknya yang kaku, lalu tertidur dengan sempurna.
Purnama masih benderang, Jasmine tidak seketika mematikan lampu. Ia memperhatikan sosok sederhana di hadapannya yang pulas. Fisiknya sempurna, penampilannya sederhana meski agak beda dengan pria kota kebanyakan yang selalu menjaga penampilannya. Rambutnya acak diikuti bulu sekitar wajah yang tumbuh serampangan. Jasmine merasa iba mengetahui ketulusan hati Suhban dalam segala hal. Ia dapat menjadi seorang teman yang setia. Jasmine mematikan lampu, lalu pergi.

Ketika bangun, Suhban mendapati hal yang sama dengan suasana pagi kemarin, kamar yang rapi dan sajian di meja makan. Bedanya Suhban sudah mulai berani mencicipi setiap sajian dan tidak merasa asing lagi dengan suasana baru di rumahnya. Ia mulai yakin, Jasmine membantu mempersiapkan semuanya.

Menjelang senja, esoknya, Suhban baru saja dari café menemui Kahlil yang dipaksa mempercayai ceritanya, paling tidak ada seseorang yang tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Suhban terkejut melihat Jasmine sedang memindahkan potongan kayu dan sesampahan lainnya di luar rumah, ia hadir lebih awal. Seketika mengulas senyum saat menyadari Suhban telah kembali.

“Jasmine?” setengah kaget,“ kamu datang lebih awal hari ini dan melakukan semua ini?”

“Ooh.. Aku tidak tega membiarkanmu terlalu lama, Bang.”

“Hmm.. Tapi aku ragu jika seseorang melihatmu di sini, di luar rumah.” Suhban sambil melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapapun di sana selain mereka.

“Begitukah?” agak bingung, “apa yang akan mereka pikirkan?”

“Mungkin mereka akan mengira sesuatu yang tidak baik.” Suhban enggan.

“Aku paham. Orang-orang dengan mudah menilai moral seseorang, padahal moral mereka sendiri lebih bejat dari apa yang mereka bicarakan.”

“Maksudmu?” giliran Suhban yang agak bingung.

“Mereka tidak lebih baik dari orang-orang yang suka mereka bicarakan, mereka nilai. Ah.. nanti kamu akan paham juga, bang.”

“Yuk! Kita ke dalam aja.” ajak Suhban.

“Iya, Bang. Aku menaruhnya di sini, sepertinya akan tampak rapi.” Jasmine sambil menggeser sepotong kayu yang terakhir dibawanya. Mengikuti Suhban dari belakang.

Suhban menyodorkan sebungkus makanan cepat saji yang ia bawa dari café yang sedianya ia persiapkan untuk pengganti makan malam.

“Terima kasih. Tidak apa, Bang. Abang simpan saja untuk makan malam. Saya tidak makan.” halau Jasmine dengan sopan.

Mereka melewati malam seperti biasa, bercerita, main musik dan bercanda ria sampai Suhban merasa lelah, lalu tidur dalam lambaian petikan senar Jasmine. Jasmine tidak pergi, ia memilih tidur di sebuah sebuah sofa single tua di sudut kamar dengan menyisihkan beberapa potongan baju dan buku. Sambil duduk, menyandar.

Melewati tengah malam, Suhban terbangun mendengar suara mencurigakan dari arah luar. Menyingkap pelan tirai jendela dan ia seketika kaget, ada sekelompok orang menyebar di sudut-sudut rumahnya. Mencoba menemukan Jasmine, dalam remang, Jasmine terlihat duduk di sofa di antara ujung-ujung baju yang tergantung di hanger. Terjaga dan tampak tenang meski sepertinya ia tahu lebih awal keberadaan sekelompok orang di luar rumah. Dia hanya melempar secuil senyuman.

Suhban panik! Hanya ada dua kemungkinan yang bakal dihadapinya, sebuah aksi kekerasan atau ia akan dipaksa ikut ke sebuah kantor untuk diadili dengan ancaman puluhan kali lecutan di tengah keramaian.

“Jasmine, tidakkah kamu berniat untuk pergi?” Suhban serba salah.

“Tidak, Bang. Aku tak kan membiarkanmu sendirian. Ataukah kamu ingin aku pergi?”

“Oh! Aku tidak bisa berpikir!” benar-benar kebingungan.

“Bang Iban, jangan terlalu khawatir. Mereka tidak bisa mennyentuhmu.” Jasmine menawarkan sebuah pilihan.

“Tapi ini akan kacau.. Kacau sekali, Jasmine.”

“Kita lihat saja. Kita akan menghadapinya.”

Gubrak! Suara pintu depan didorong buka dengan paksa. Beberapa orang berteriak. Seketika Suhban menghidupkan lampu dan membuka pintu kamar, berdiri membelakangi Jasmine yang masih duduk.

“Anak haram! Tak tau diri!” teriak seseorang. Suhban hanya menunduk di palang pintu.

“Siram dia!” teriak yang lain ketika tangan kekar mulai menarik tangan Suhban untuk keluar dari rumah.

“Sabar, Bapak-bapak. Saya bisa menjelaskannya.” pinta Suhban dengan lemah ketika sudah berada di halaman. Beberapa orang mulai sibuk mencari air lumpur untuk memandikannya.

“Penjelasan apalagi! Buat onar bikin malu sekampung.” tambah yang lain.
Sementara dari arah dalam, terdengar suara ribut.

“Jangan pegang saya! Saya akan mengikuti semua arahan.” teriak Jasmine yang melihat gelagat akan ditarik secara paksa.

Mendengar itu, beberapa pria tegap terpaku. Suara perempuan ini melengking seakan menggema. Baru pertama mereka mendengar tekanan suara perempuan yang begitu kuat. Mimik Jasmine serius, lalu melangkah mendahului mereka menuju Suhban.

Para pria saling memandang, mencoba menerjemahkan siapa sosok perempuan di hadapan mereka yang tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Perawakannya modern tapi sorot matanya sangat tajam, mampu menantang semua mata yang melihatnya.

“Jangan ada yang coba memandikan kami, dengan apapun!” teriak Jasmine begitu di halaman, tepat di samping Suhban. Suhban ikut bingung melihat keberanian Jasmine menghadapi puluhan orang yang sudah berkumpul di sana. Dia menjadi kuat manakala tangan kanan Jasmine menggenggam tangan kirinya. Sebuah isyarat, mereka akan menghadapinya bersama.

Menjelang fajar, tujuh orang berseragam datang dengan sebuah mobil terbuka. Salah satu dari mereka mendekati pemimpin kelompok yang baru saja menyelesaikan sesi negoisasi lalu ia memaparkan hasilnya. Jasmine menunjukkan perlawanan untuk setiap upaya yang mengarah pada kekerasan dan tidak manusiawi. Kekuatan vokal dan keberaniannya mampu meredakan ketegangan dan amukan emosi. Akibatnya, yang terjadi sebuah negoisasi.
Sepakat dengan negosiasi itu, sang komandan mengisyaratkan sebuah perintah untuk berbalik arah, kembali dengan membawa serta Suhban dan Jasmine, tanpa borgol. Di atas kursi panjang mobil terbuka seperti itu suasana hati Suhban tak menentu, tertunduk sedih, malu, gelisah, berkecamuk. Ia dipertontonkan atas sebuah persepsi kejahatan.

Kegelapan di sisa-sisa malam membantunya menutup diri dan orang-orang pun belum ramai yang lalu lalang. Tapi jasmine duduk tegak setengah menengadah, tak terpengaruh dengan suasana dingin menjelang pagi itu. Sesekali melirik Suhban seraya memperkuat genggamannya. Inginnya memeluk erat Suhban, memberinya kekuatan, tapi takutnya akan dianggap memprovokasi.

“Anda melakukan pelanggaran hukum poin 12 baris 27,” ucap seorang Pemeriksa berbaju seragam dari seberang meja, “Anda berdua diancam denda material dan hukuman lecutan fisik.” menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi.

“Karena apa? Maaf kalau boleh dijelaskan.” pinta Jasmine.

“Anda berdua melakukan hubungan badan di luar pernikahan yang sah.”

“Oh.. Anda bisa tahu sejauh itu, padahal kami sendiri justru tidak memahami hubungan seperti itu.” Jasmine melirik ke arah Suhban, ia tertunduk lesu, tak berani mengangkat mukanya.

“Tapi ada saksi, itu keterangan saksi,” balas Pemeriksa.

“Saksi seperti apa, sekerumunan itu?” tantang Jasmine. Giliran Suhban yang menggenggam erat tangan Jasmine. Jasmine tidak mengerti genggaman itu, memberinya semangat atau justru mencoba mencegahnya agar tidak terlalu berargumen.

“Beberapa dari mereka adalah saksi yang mengetahui Anda berdua di dalam satu kamar tanpa ikatan nikah.”

“Oh, bukankah orang-orang di kantor juga melakukannya saat mereka bekerja?”

“Anda jangan lantang ya!” Pemeriksa tersinggung, “Tapi Anda berdua di kamar, di malam hari, patut dicurigai.”

“Silahkan dicurigai, tapi seharusnya pemeriksaan seperti inilah yang membuktikan bahwa itu terjadi atau tidak.” Jasmine mempertahankan diri. Suhban mulai mengangkat wajahnya, memperhatikan perdebatan.

“Kami punya saksi.” tegas Pemeriksa.

“Seharusnya Bapak paham apa itu saksi!”

“Maksud Anda?”

“Bapak menilai suatu peristiwa dengan hukum langit, tapi giliran pembuktian Bapak mengabaikan itu dan merunut pada aturan turunan.” Jasmine datar. Ia dapat menjaga intonasi dengan baik. Seperti memainkan senar dengan berbagai nada.

Pemeriksa tidak menyangka apa yang ia dengar. Ia mulai bingung, sebenarnya siapa yang ia hadapi. Pun ia belum sepenuhnya memahami arah penjelasan Jasmine yang terakhir. Ia melirik ke beberapa kolega yang berdiri di belakangnya. Mereka angkat bahu.

“Anda siapa, berani mengatakan hal seperti ini?” tanya Pemeriksa pelan.

“Tidak penting siapa saya.”

“Tapi apa maksud Anda mengatakan seperti itu?”

“Hukum langit adalah hukum asal. Saksi zina, jika itu yang Bapak maksudkan kami lakukan, pembuktiannya sangat ketat, bukan?” Jasmine menyadari ekpresi Pemeriksa yang kebingungan, dan itu kesempatan buatnya mengendalikan keadaan. “Empat orang saksi. Dan ia harus benar-benar melihat apa yang terjadi sampai detail, bertemunya dua kelamin.”

Pemeriksa cemberut sambil mengangkat bahu dan melebarkan kedua tangannya.

“Tapi semuanya mengabaikan itu. Padahal begitu rumitnya pembuktian untuk menjaga marwah kaum kalian sendiri. Tapi yang terjadi kalian mempermalukan kehormatan kaum kalian dengan aturan turunan yang justru mendikotomi hukum langit.” sambung Jasmine.

“Cukup!” teriak Pemeriksa.

“Anda tidak dapat menghukum kami dengan aturan yang ditulis oleh orang-orang yang telah kami perdaya.” Jasmine mengabaikan Pemeriksa yang tampaknya sudah mulai naik darah.

“Cukup! Anda terlalu lantang!” Pemeriksa memukul meja. “Tidak semua perempuan seperti kamu.”

“Lihatlah, siapa yang lebih banyak antara ahli agama dan pemangku kepentingan yang suka mengisi mimbar dengan membahas ini.” Jasmine datar, seakan menurunkan tensi kemarahan Pemeriksa.

“Anda akan dihukum dengan hina atas penghinaan ini.” ancam Pemeriksa sambil bangkit.

“Anda tidak bisa menghukum saya.” dengan nada pelan, Jasmine ikut bangkit.

Suhban masih duduk dan tidak banyak bergerak. Dia semakin tak karuan melihat perdebatan Jasmine yang terlalu berani.

“Bang Iban, sepertinya aku akan pergi. Jaga dirimu, aku akan mendatangimu di tiga mimpi sebelum aku benar-benar meninggalkanmu.” pamit Jasmine. Selain Suhban, semua yang mendengar itu kebingungan, tak beda Pemeriksa yang baru saja hendak membalikkan badan, seakan melewatkan sesuatu.

“Pergilah. Itu yang terbaik.” Suhban lemas.

“Anda tidak bisa menghukum saya.” Jasmine mengulang perkataannya, ia tujukan ke Pemeriksa. Ketika kalimat terakhir diucapkan, wajah Jasmine memudar, semakin lama semakin memudar dan meninggakan jejak seperti hollow man yang menyisakan setumpuk pakaian di lantai.

Di tengah kebingungan itu, telepon berdering, Pemeriksa menerima sebuah laporan bahwa rumah gudang milik Suhban terbakar. Tidak ada yang tahu penyebab kebakaran. Tapi Pemeriksa cepat-cepat menutup telepon karena peristiwa di depannya jauh lebih penting untuk diketahui.

“Apa… Apa ini? Apa yang sedang terjadi?” Pemeriksa memecah kebisuan di tengah kaget.

“Dia jelmaan lukisan saya, Pak. Maafkan saya.” Suhban tidak mungkin menutupinya.

“Hah!?” Pemeriksa tambah bingung.

“Benar, Pak. Saya dari tadi juga bingung bagaimana akan menjelaskannya.”

“Omong kosong! Tapi rumahmu dilaporkan terbakar.” Pemeriksa membuka topinya sambil menunjukkan kebingungan.

“Apa? Oh.. mungkin lukisan itu ikut terbakar.” Suhban antara shock bercampur sedikit lega mengetahui sumber masalahnya terurai api.

“Pulanglah, nanti akan dipanggil saat dibutuhkan.” ujar Pemeriksa sambil memberi isyarat ke penjaga di sana.
Suhban bangkit, dan pulang.

Telah tayang di acehtrend.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harmoni di Tepi Krueng Lokop dan Bakti Pak Tani untuk Negeri

  Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan  start  dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana. Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaks...

Tumpôk Asëë Lêt

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya. Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan  hana sapue na . Sebuah perumpamaan keluar dar...